Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Serangan Teror Paris, Suara Lain dari Eropa

17 November 2015   21:36 Diperbarui: 17 November 2015   23:57 1991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="David Van Reybrouck (Sumber foto: http://deredactie.be/)"][/caption]

David Van Reybrouck, sejarahwan Belgia menulis surat terbuka kepada Presiden Perancis Francois Hollande, yang dimuat Koran Perancis Le Monde dan situs deredactie.be/, edisi 17 Nopember 2015, yang berjudul: “Wahai Presiden Francois Holland, Anda Terperangkap ke dalam Jebakan Islamic State”.

Reybrouck menilai Francois Hollande mengikuti jejak mantan Presiden Amerika George Walker Bush, ketika berpidato di depan Kongres Amerika paska aksi teror 9/11: "The enemies of freedom have committed an act of war against our country." Dan kita tahu, pidato Bush itu berujung pada penyerangan Afghanistan 2001 karena dianggap melindungi Osama bin Laden, dilanjutkan dengan penyerangan dan menduduki Irak tahun 2003.

Reybrouck kemudian mengulas konsekuensi penarikan pasukan Amerika dari Irak, yang mengakibatkan Irak mengalami vacuum of power, yang disusul gelombang Arab Spring, dan konflik antara rezim Suriah dan kelompok oposisi di awal tahun 2011, yang kemudian memicu munculnya ISIS (Islamic State in Iraq and Sham).

“Serangan teror Jumat malam (13/11) di Paris adalah konsekuensi tidak langsung dari pidato temanmu George W Bush, yang menabuh perang pada September 2001”.

“Sekarang, apa yang Anda lakukan, Bapak Presiden? Bagaimana kamu bertindak, dalam tempo kurang dari 24 jam dari aksi teror Paris? Anda ternyata berpidato dengan menggunakan kata-kata yang persis sama dengan teman Amerika-mu (Bush), juga dengan intonasi yang persis sama”.

David Van Reybrouck menyalahkan Hollande karena menggunakan istilah “tentara teroris”. Istilah ini terdiri dari dua kata yang saling bertentangan: tentara vs teroris, dan berkesimpulan bahwa Presiden Perancis masuk dalam jebakan IS, karena merespon provokasi IS untuk berperang dengan antusias. Padahal mereka itu bukan tentara, tapi monster. Dan Anda telah menunjukkan kelemahan Anda".

David Van Reybrouck mengulas perilaku para penyerang dalam Teror Paris dengan mengatakan, "mereka tidak professional. Sebab menyerang warga sipil secara membabi buta adalah perilaku orang penakut".

“Tiga orang yang menyerang Stade de France, di mana Anda sedang menonton pertandingan persahabatan kesebelasan Perancis dan Jerman, tampak sangat amatir. Ketiga pelaku itu tentu ingin masuk ke stadiun, untuk menyerang Anda secara personal, mungkin saja. Tapi siapapun yang meledakkan dirinya di dekat restoran McDonald dan hanya membunuh satu orang pastilah teroris yang tidak profesional”.

“Klaim yang direlease oleh IS juga tidak memberikan penjelasan detail, dan tidak menyebutkan bukti-bukti, dan meragukan apakah benar IS yang mendalangi Serangan Teror tersebut, ataukah IS mengakuinya hanya untuk mendapatkan pengakuan sebagai dalangnya.

David Van Reybrouck menyayangkan pidato (Hollande) yang menabuh perang, dan pada saat yang sama memuji pidato PM Norwegia Stoltenberg paska aksi teror yang menyasar warga Norwegia pada Juli 2012, yang justru mengajak bahwa “kita perlu lebih banyak demokrasi, keterbukaan dan partisipasi”, dibanding larut dalam pidato keamanan, yang berdasarkan pengalaman terbukti gagal total.

David Van Reybrouck mengakhiri artikelnya dengan mengatakan, “Pidatomu, bapak Presiden, berisi soal kebebasan. Mestinya juga berisi tentang persamaan dan persaudaraan. Dan saat ini, bagi saya, kita justru lebih memerlukan persamaan dan persaudaran dibanding kefasihanmu berbicara soal perang”.

Kira-kira dengan nada yang sama, Espresso The Economist, edisi 17 Nopember 2015, juga menurunkan artikel pendek berjudul: “Each to his own: the Middle East after Paris”, yang mengulas bahwa banyak orang Lebanon menggerutu karena aksi pengeboman di Beirut sehari sebelum teror Paris kurang mendapatkan perhatian media dunia. Beberapa warga Suriah mengatakan, Bashar Assad telah membunuh ribuan orang, lebih banyak daripada yang dibunuh oleh IS. Sementara Bashar Assad sendiri menegaskan dia hanya memerangi teroris, bukan memerangi warganya sendiri. Di Mesir, Abdul Fattah Al-Sisi menggunakan ancaman terorisme untuk membenarkan perlunya rezim tangan besi”.

--------

Terus terang, tidak banyak yang bisa dikatakan setelah membaca surat terbuka David Van Reybrouck kepada Presiden Perancis, dan ulasan Espresso the Economist.

Kalau boleh mendaur ulang periode 15 tahun terakhir (dari 2001 sampai 2015), kita bisa menyimpulkan bahwa aksi-aksi teror di berbagai penjuru dunia ternyata lebih banyak justru setelah “War on Terror”. Bukankah ini sebuah paradoks?

Sebab “War on Terror” itu dilawan dengan “mesin perang juga”, terus “perlawanan terhadap war on terror itu”, dilawan dengan “act of war” lagi… Begitu seterusnya. Sebuah lingkaran setan, yang ujungnya kita semua tahu: korban tewas akan semakin bertambah. Apakah memang iya, harus begini kehidupan yang konon modern itu?

Selasa, 17 Nopember 2015 | Syarifuddin Abdullah

Ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun