David Van Reybrouck mengakhiri artikelnya dengan mengatakan, “Pidatomu, bapak Presiden, berisi soal kebebasan. Mestinya juga berisi tentang persamaan dan persaudaraan. Dan saat ini, bagi saya, kita justru lebih memerlukan persamaan dan persaudaran dibanding kefasihanmu berbicara soal perang”.
Kira-kira dengan nada yang sama, Espresso The Economist, edisi 17 Nopember 2015, juga menurunkan artikel pendek berjudul: “Each to his own: the Middle East after Paris”, yang mengulas bahwa banyak orang Lebanon menggerutu karena aksi pengeboman di Beirut sehari sebelum teror Paris kurang mendapatkan perhatian media dunia. Beberapa warga Suriah mengatakan, Bashar Assad telah membunuh ribuan orang, lebih banyak daripada yang dibunuh oleh IS. Sementara Bashar Assad sendiri menegaskan dia hanya memerangi teroris, bukan memerangi warganya sendiri. Di Mesir, Abdul Fattah Al-Sisi menggunakan ancaman terorisme untuk membenarkan perlunya rezim tangan besi”.
--------
Terus terang, tidak banyak yang bisa dikatakan setelah membaca surat terbuka David Van Reybrouck kepada Presiden Perancis, dan ulasan Espresso the Economist.
Kalau boleh mendaur ulang periode 15 tahun terakhir (dari 2001 sampai 2015), kita bisa menyimpulkan bahwa aksi-aksi teror di berbagai penjuru dunia ternyata lebih banyak justru setelah “War on Terror”. Bukankah ini sebuah paradoks?
Sebab “War on Terror” itu dilawan dengan “mesin perang juga”, terus “perlawanan terhadap war on terror itu”, dilawan dengan “act of war” lagi… Begitu seterusnya. Sebuah lingkaran setan, yang ujungnya kita semua tahu: korban tewas akan semakin bertambah. Apakah memang iya, harus begini kehidupan yang konon modern itu?
Selasa, 17 Nopember 2015 | Syarifuddin Abdullah