Mohon tunggu...
Febri Trifanda
Febri Trifanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lux in tenebris

Sitou timou tumou tou

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi: "Perasaan yang Berkumandang"

29 Januari 2022   12:40 Diperbarui: 29 Januari 2022   12:42 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang filsuf dari Yunani kuno yang bernama Aristoteles mengatakan bahwa "setiap orang yang merasakan sentuhan cinta, maka ia akan jadi penyair". 

Hal ini ada benarnya, pasalnya setiap orang yang menjalin hubungan percintaan sering menggunakan kata-kata yang puitis kepada lawan jenisnya. 

Dalam hal yang paling sederhana dapat dilihat ketika sepasang kekasih sedang cekcok. Upaya-upaya persuasif yang di lakukan oleh salah satu pihak sering kita temukan menggunakan kata-kata yang puitis. 

Oleh karena itu mereka yang merasakan sentuhan cinta, memiliki potensi untuk menjadi penyair. Jika tidak dalam khalayak yang lebih luas, maka ia akan menjadi penyair dalam ruang private saja. Seperti kepada pasangan nya.

Puisi yang berjudul "Perasaan yang Berkumandang" ini pun beranjak dari sentuhan cinta. Yang mana impact dari intensitas interaksi pada akhirnya menumbuhkan sebuah rasa. 

Seperti orang-orang mengatakan nya bahwa cinta bisa datang karena terbiasa bersama. Akan tetapi perasaan ini masih sepihak saja dan belum tau bagaimana perasaan dari dirinya. Sehingga di akhir bait puisi ini dikatakan "panggil lah aku jika rasamu adalah genap yang sepasang, jika tidak bantu aku untuk hengkang". 

Sesuai dengan maksud tersebut, maka puisi ini pun tercipta. Berikut adalah napak tilas dari rasa yang membekas, Melalui semesta puisi kita hatur kan : 

"Sejak gurauan kian tercanang.
Rentetan kisah pun turut membentang.
Melambung kan rasa pada langit berbintang.
Hingga tautan nya mengundang ria dengan tawa yang gemilang.

Dalam keadaan tanpa cahaya kau tetap menghadirkan cerlang.
Hingga radius di sekitar ku terus bersahaja dengan benderang.
Bagaimana hati tidak akan berdendang.
Jika lautan mu telah menghadiahkan tenang di dalam gelanggang.

Memicu rasa untuk terus bergelombang.
Sembari menghasut jantung untuk semakin berdentang.
Mendepak kesunyian yang bergelimang.
Seraya menyambut dunia baru untuk menjalang.

Dalam jabar yang tak terbilang, kita pun kian larut ke alam pinang.
Membuka gerbang bagi rasa yang terhidang.
Sambil mengundang kepercayaan untuk menjelang.
Hingga intensi hati kian bergemuruh di dalam bayang.

Sorak sorai penuturan, sulih suara yang berkumandang.
Kian mendoakan hadir mu di dalam gentayang.
Membujuk sanubari tuk menutup celah bagi lajang yang melambang.
Entah itu akan diterima dengan hati yang lapang atau malah berbuah lancang..

Namun aku ingin engkau mendengarkan nya dengan lantang.
Selayaknya pepohonan yang selalu kau jaga dengan rindang.
Yang bisa kapan saja ku kunjungi tanpa ada ujaran yang melarang.
Seraya engkau terima dengan hati yang lapang.

Aku ingin kita berada dalam satu keranjang.
Menjadi wadah bagi rasa yang telah terpampang.
Mencegah jurang pemisah untuk bertandang.
Seraya mendekap dalam satu ladang nan terancang.

Aku juga ingin kita mengubur masa lalu ke dalam liang.
Supaya tak ada latar belakang yang berkunjung di kala senggang.
Yang akan menghujani kita dengan kalut yang tergenang.
Kemudian menikam rasa sesaat ia sedang tumbuh dengan rembang.

Duhai harapan yang terus menaiki jenjang.
Bisa kah sebongkah rasa ini mewujudkan mimpi nya tanpa penghalang.
Agar tak ada renggang sesaat rasa kian merentang.
Bukan kah kita semua telah di takdir kan untuk sepasang.

Jika rasa ini hanya sepihak untuk ku sandang.
Maka buang lah segala untaian nya ke dalam lubang.
Biar tak ada kabung yang menghantar kan ku ke dalam kubang.
Tak mungkin jua aku membangun sarang pada rumah yang senjang.

Pada mu yang kerap lalu lalang tanpa peduli malam dan siang.
Hadirkan lah ruang bagi rasa untuk ku timang tanpa tertuang.
Restuilah ingin nya untuk menggema kan rasa yang tak akan pernah lekang.
Dan izin kan lah ia bersulang dengan hatimu agar terentang.

Atas nama selendang rasa yang terpancang .
Panggil lah aku jika rasa mu adalah genap yang sepasang.
Jika tidak, bantu aku untuk hengkang.
Selayaknya dedaunan yang jatuh dari batang".

Febri Trifanda 

Timpeh, Dharmasraya

30 Agustus 2021 

05:38 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun