Sisingamangaraja XI sudah melihat adanya ancaman kemerosotan kepercayaan yang tumbuh sejak lama di tanah batak. Dampak dari serangan perang padri sangat terasa dalam perubahan moral dan perekonomian, tatanan masyarakat, adat, patik, uhum, harajaan, dan hamalimon terancam punah.
Pada masa pergolakan sosial politik dibawah cengkeraman kolonial, parmalim menjadi target penekanan secara sengit dan memdapat perlakuan rendah serta deskriminatif. Ketika itu, kolonial memposisikan parmalim sebagai musuh dan secara bersamaan para misionaris juga memandang parmalim sebagai ancaman serius. Kompossisi keadaan tersebut akan semakin genting manakala parmalim memperlihatkan kegigihanya dengan menolak takluk terhadap kolonialisme dan kristenisasi. Penolakan parmalim terbingkai oleh suatu dalih untuk melestrikan budaya batak serta mempertahankan unsure-unsur kepercayaan leluhur. Atas dasar ini, mereka menentang kolonialisme dan kekristenan yang dianggap merusak budaya batak. Karena memang kolonial dan kristenisasi memproklamasikan suatu identitas baru yang cenderung berorientasi pada budaya eropa.
Pada masa kolonial dan kehadiran misionaris Kristen di tanah batak , parmalim secara intensif diperhadapkan pada suatu pilihan untuk menuruti kehendak dominan atau pihak yang lebih kuat. Padahal dalam pandangan Sisingamangaraja XII, identitas yang ditawarkan kolonial maupun kekristenan justru merusak tatanan tradisi maupun peradaban batak. Kolonialalisme dimaknai sebagai suatu pengenalan budaya eropa atas peradaban batak. Dalam pemahaman tersebut, Sisingamangaraja XII, yang juga merupakan malim (imam) dalam agama malim, memimpin penganut agama malim untuk menolak takluk terhadap kolonial dan tidak menerima kekristenan. Tindakan kolonial dan misionaris tersebut mengilustrasikan bahwa stigma dan pembatasan merupakan produk praktik pemaknaan maupun penafsiran.
Ditengah situasi gempuran stigma dan pembatasan, Sisingamangaraja XII menerapakan suatu straregi dengan mengamanatkan Raja Mulia Naipospos untuk mengkreasikan  penguatan basis warga penganut agama malim. Dalam amanat tersebut terkandung niat untuk meneduhkan dan mempertahankan eksistensi agama malim sebagi bagian menyeluruh dalam peradaban batak.
Pada era Sisingamangaraja XII pergolakan di tanah batak semakin keruh, keberpihakan kepada penjajah dan misi baru semakin deras dan pembangkangan semakin banyak. Dulunya para Raja Bius Parbaringin yang sangat mendukung Raja Sisingamangaraja XII menentang penjajah mulai merosot. Diantara kerabat para raja tradisional itu ada yang diangkat colonial menjadi raja versi mereka. Para raja angkatan penjajah ini melakukan pendekatan dan penekanan kepada para raja parbaringin dan para pejuang pro Sisingamangaraja XII untuk melunturkan perannya.
Begitu juga dengan hamalimom (agama malim) akan semakin merosot bila dibiarkan tanpa pertahanan. Sisingamangaraja XII menyusun strategi lebih tegas dalam bentuk aksi. Raja Mulia memegang teguh perananya untuk tidak muncul sebagai sosok perlawanan anti kolonial, sehingga lebih didekatkan kepada missionaris nommensen di sigumpar. Ini merupakan pendekatan secara terselubung agar tidak segera dipatahkan oleh gerakan misi Kristen dan penjajah.
Kesimpulan:
Parmalim atau Ugamo Malim adalah sistem religi orang batak. Pada awalnya parmalim belumlah dianggap sebagai agama oleh orang batak. Parmalim menjadi agama orang batak ketika Raja Nasiakbagi mendeklarasikannya sebagai agama dengan tujuan untuk meningkatkan keimanan pengikutnya di tengah pengaruh penyebaran agama Kristen di tanah batak dan juga sebagai wujud penolakan terhadap kolonialisme dan penyebaran agama Kristen yang mereka lakukan (Ibrahim Gultom, 2010:95). Awalnya, Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam, disebabkan agama baru yang dibawa oleh Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah batak menjadi gerakan politik atau 'Parhudamdam' yang menyatukan orang batak untuk menentang belanda.Â
Bagi sebagian orang Toba, Parmalin lebih dari sekadar agama, melainkan juga menjadi gerakan sosial dan politik yang menganggap Sisingamangaraja XII sebagai pemimpin yang suci dan bertujuan untuk melestarikan pola kehidupan pra-kolonial. maka tidak mengherankan jika Sisingamangaraja XII didukung penuh oleh masyarakat Toba. Parmalim menjadi salah satu faktor kunci kegigihan Sisingamangaraja XII dan rakyatnya dalam melawan Belanda sampai titik darah penghabisan, meskipun ke depannya nanti agama Kristen yang justru lebih dominan.
Setelah Raja Sisingamangaraja XII diumumkan gugur 17 Juni 1907 dalam perjuangan melawan penjajah, tanah batak berduka, ada yang pesimis dan ada yang optimis. Yang pesimis mengikuti jejak penjajah, dan yang optimis tetap melakukan perjuangan mempertahankan hak dan kebebasannya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H