Mohon tunggu...
Sabar ririsma riani l.gaol
Sabar ririsma riani l.gaol Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan sejarah Universitas samudra

Holong nasian Debata ido namangaramoti hita saluhutna

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksistensi Agama Malim dalam Perang Batak 1870-1907

31 Mei 2021   12:59 Diperbarui: 31 Mei 2021   13:04 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jauh sebelum kedatangan agama Kristen dan Islam di tanah batak, orang batak sudah memiliki sebuah kepercayan yaitu agama Malim. Hubungan dengan Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan yang Maha Esa) dusebut Ugamo (Agama), inti ajaran dalam menjalankan hubungan itu disebut Hamalimon. Parmalim sebenarnya adalah identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut ugamo Malim.

Ada beberapa pribadi leluhur di tanah batak yang dianggap sebagai Malim (pemimpin penganut agama Malim), yakni Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja (nama asli ialah Patuan Bosar Sinambela, Sisingamangaraja adalah gelar) dan Raja Nasiakbagi. Pada masa kepemimpinan Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja ajaran ini belum dibungkus dengan sebutan agama, tapi ia hanya sebuah bentuk kepercayaan yang didalamnya ada amalan-amalan (ritual) sebagai sarana tali penghubung antara Manusia dengan Debata (Tuhan Allah).

Selain mempercayai Debata Mulajadi Nabolon sebagi Tuhan Maha Pencipta, parmalim juga mempercayai adanya Debata Natolu yaitu Batara Guru merupakan pancaran kuasa Debata Muljadi Nabolon mengenai kebijaksanan (Hahomiaon), Sorisohaliapan merupakan pancaran kuasa Debata Mulajadi Nabolon mengenai kesucian (hamalimon) dan takdir, dan Debata Balabuhan merupakan wujud pancaran kuasa Debata Mulajadi Nabolon mengenai kekuatan, pengetahuan (parbinotoan). Ketiga Debata ini dilambangkan dengan wujud hitam melambangkan Batara Guru, Putih melambangkan Debata Sorisohaliapan, Merah melambangkan Debata Balabulan. Ketiga unsur ini terpancar dalam kebudayaan masyarakat batak seperti ulos batak yang terbuat dari benang hitam, putih dan merah. Tempat peribadatan agama malim yaitu Bale Pasogit terdapat patung ayam sebagi lambang kepercayaan parmalim sekaliggus wujud dari ketiga Debata Batolu.

Agama Malim berpatokan pada ajaran yang disampaikan kepada tokoh-tokoh adat atau raja-raja pada masa lalu. Raja bagi bangsa batak dulu dianggap sebagai jelmaan Debata, sehingga masyarakat batak sangat percaya kepada titah raja. Salah seorang raja yang diyakini sebagi jelmaan Debata  Natolu yaitu Raja Sisingamangaraja XII. Agama malim juga memiliki upacara keagamaan yaitu upacara Sipahasada, merupakan upacara yang paling hikmat dan mengandung nilai religius yang paling dalam bagi parmalim, upacara Sipahalima merupakan upacara untuk menyampaikan puji-pujian kepada Debata Mulajadi Nabolon termasuk kepada Debata Natolu karena atas berkatnya rahmatnya mereka semua sehat jasmani dan rohani. Upacara ini mempersembahkan kerbau atau lembu sebagai kurban Pelean (Sesaji). Parmalim melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa, serta memohon ampun dari Tuhan yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan ugamo malim. Parmalim juga harus menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin, tidak boleh berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri dan lain sebagainya. Diluar hal tersebut seorang parmalim juga diharamkan memakan darah, daging babi, daging anjing, dan binatang liar lainya.

Salah seorang malim ni Debata yaitu Raja Nasiakbagi, dalam pertemuanya dengan murid-murid mengatakan "malim ma hamu" (malim lah kalian) yang artinya  "sucilah kamu atau senantiasalah suci dalam keagamaan". Sejak saat itu pulalah ajaran malim resmi dan popular disebut agama malim.

Perang batak (1870-1907)

Sampai abad ke-18, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak. Yang mana tanah batak masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Pada tahun 1824 penyebaran agama Kristen ditolak oleh orang batak, sebab mereka sudah mempunyai sistem kepercayaan tradisional Parmalim dan nilai-nilai budaya yang telah berakar di kalangan orang batak. Suku batak toba tidak mau meninggalkan adat dan agama nenek moyang yang dianggap sebagai pedoman dalam pergaulan dan pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari. Sekali pun demikian para raja dan ketua adat batak masih memberikan kesempatan kepada kaum misionaris untuk mensosialisasikan Kristen dengan syarat misionaris dapat menghantarkan orang Batak pada pemilikan kekayaan (hamoraon), kejayaan (hagabeon), dan kekuasaan (hasangapon), Satu  sikap yang patut diteladani dari Raja Sisingamangaraja XII yaitu adalah prinsipnya yang tidak maau tunduk kepada belanda sampai darah terakhir.

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindug dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial belanda dari ancaman di usir oleh Sisingamangaraja. Kemudian pemerintah belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyarang  markas Sisingamangaraja di Bakkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh tanah batak. Sisingamangaraja diserang pasukan colonial dan pada 1878 seluruh Bakkara dapat di taklukkan namun Sisingamangaraja beserta keluarga dan pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakkara dipaksa belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belanda. Karena lemah secara taktis , Sisingamangara XII menjalin hubungan dengan pasukan Aceh dan tokoh-tokoh pejuang Aceh yang beragama Islam untuk mrningkatkan kemampuan tempur pasukan. Dia berangkat ke wilayah gayo, Alas Singkil, dan Pidie di Aceh dan turut serta pula dalam latihan perang keumala. Karena belanda selalu unggul dalam persenjataan, maka taktik perang perjuangan batak dilakukan secara tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang gerilya. Sisingamangaraja dianggap selalu mengobarkan perlawanan diseluruh Tanah Batak.

Untuk menanggulanginya, belanda berjanji akan menobatkan Sisingamangaraja XII menjadi Sultan Batak. Sisingamangaraja dengan tegas menolak iming-iming tersebut, baginya lebih baik mati daripada menghianati bangsa sendiri. Belanda semakin geram, sehingga mendatangkan regu pencari jejak dari Afrika, untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja. Berbagai usaha yang dilakukan belanda, pada tahun 1907 Sisingamangaraja berhasil ditangkap di dekat Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya si Onom Hudon, di perbatasan kabupaten Tapanuli Utara dan kabupaten Dairi dalam keadaan lemah Sisingamangaraja dan pasukanya terus mengadakan perlawanan, dalam perlawanan itu  gugurlah raja Sisingamangaraja XII oleh peluru marsuse belanda dibawah  pimpinan Kapten Christoffel, Sisingamangaraja XI gugur bersama dua orang putranya yaitu Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya yang bernama Lopian. Dengan gugurnya Sisingamangaraja maka seluruh daerah batak menjadi milik belanda. Sejak saat itu pula kerja rodi di derah ini merajalela, struktur tradisional , masyarakat semakin lama semakin runtuh.

Tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah di tawan, gigih dan berani Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga decade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaanya kepada tanah air dan kepada kemerdekaanya yang tiada taranya. Itulah yang dinamakan semangat juang sang Raja Sisingamangaraja, yang perlu diwarisi oleh seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda, Raja Sisingamangaraja XII benar-benar lah seorang patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi. Raja Sisingamangaraja gugur pada 17 juni 1907 tetapi pengorbananya tidaklah sia-sia dan hanya 38 tahun kemudian penjajah betul-betul angkat kaki dari idonesia. Kini Raja Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah, namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbananya yang sangat luhur serta pelayananya kepada rakyat yang sangat baik, kecintaanya kepada bangsa dan tanah airnya serta kepada kemerdekaan yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.

Parmalim dalam Perang Batak (1870-1970)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun