*) Bertandang ke Pulau Rondo
Siapa bilang batas negeri kita masih tak terawat seperti di masa lalu? Buktinya, ketika saya bertandang ke Pulau Rondo, salah satu Pulau Terluar Indonesia yang tertetak di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam akhir bulan lalu, pulau yang berbentuk tempurung kelapa ini ternyata sudah lama dihuni sepasukan penjaga perbatasan (Pamtas). Banyak patok dan tugu yang menandakan bahwa Pulau ini resmi milik NKRI.
Nama pulau Rondo memang tidak terkenal seperti Pulau Weh yang di atasnya terdapat Tugu Kilometer 0 (nol). Titik paling awal jika kita mau menghitung panjang dan lebar Indonesia. Pulau Rondo adalah salah satu dari empat pulau kecil di Kab. Sabang selain Klah, Rubiah dan Seulako. Dibanding dengan tiga pulau kecil lain, Rondo posisinya paling jauh, sekaligus tempat pertemuan ombak Samudera India dan Selat Malaka.
[caption id="attachment_262703" align="aligncenter" width="400" caption="Dari kejauhan tampak seperlu tempurung kelapa, karenanya masyarakat setempat menyebut Pulau Rondo dengan nama Pulau Bruek. (Dok.pribadi)"]
Bersama sejumlah relawan ‘Masyarakat Peduli Perbatasan Indonesia (MPPI)’ dari Jakarta, kami tiba di Pulau Rondo tanpa mengalami kesulitan apapun. Aksesnya begitu mudah karena banyak perahu nelayan dari Kota Sabang yang setiap hari merapat ke Pulau Rondo untuk mencari ikan tuna dan ikan marlin. Di sekitar pulau seluas 4 kilometer persegi itu dikenal sebagai habitat-nya kedua jenis ikanyang cukup mahal di pasaran ini.
[caption id="attachment_262705" align="aligncenter" width="519" caption="Akses ke Pulau Rondo melalui Pantai Iboih, Sabang dengan menumpang perahu nelayan setempat (Dok. pribadi)"]
Kami bertolak dari Pantai Iboih (Sabang) menggunakan perahu nelayan setempat. Meski terlihat dekat (sekitar 14 mil laut atau setara 21 kilo meter dari Pantai Iboih), namun dibutuhkan waktu tempuh sekitar dua jam. Para nelayan di tempat ini paham benar dengan ”prilaku” ombak sepanjang jalan menuju Pulo Rondo. Waktu paling tepat menuju ke sana adalah di pagi hari, ketika ombak laut masih tenang.
Mendekati Pulau Rondo, tidak tampak adanya pemandangan pantai berpasir. Tapi langsung dikepung batu karang dan batu gunung. Mungkin itulah sebabnya, mengapa sebagian warga Sabang menyebutnya dengan nama Pulau Bruek. Nama ini muncul lantaran bentuk pulau ini dari jauh tampak seperti tempurung kelapa.
329 anak tangga
Pulau yang terkesan tak ramah ini ternyata sangat menggugah keingin-tahuan kita untuk menyusurinya lebih dalam. Dari bibir pantainya yang tertutup karang dan batu gunung itu, telah dibangun 329 anak tangga yang memudahkan para pengunjungnya mendaki ke ketinggian. Pembuatan tangga permanen ini barangkali sejalan dengan tekad Pemerintah Aceh untuk terus menata Pulau Rondo sedemikian rupa sehingga Pulau ini dapat dihuni oleh masyarakat Aceh.
[caption id="attachment_262706" align="aligncenter" width="468" caption="menapaki 329 anak tangga menuju ke ketinggian Pulau Rondo (Dok . pribadi)"]
“Pulau Rondo perlu diisi oleh rakyat Aceh, generasi yang punya jiwa pertualangan untuk mengembangkan sektor pariwisata di sana,” kata Hayono Isman dalam kunjungan kerja Komisi I DPR RI ke Aceh akhir Juni lalu. Mantan Menpora ini juga berharap adanya perhatian Pemerintah Pusat untuk memberdayakan Pulau Rondo, upaya menjadikan kawasan wisata karena alamnya yang cukup indah. http://www.beritadewan.com/antisipasi-terulangnya-kasus-sipadan-ligitan-pulau-rondo-harus-dikelola-dengan-baik/
Menapaki 329 anak tangga menuju puncak Pulau Rondo menjadi sebuah pengalaman yang menantang. Untunglah ratusan anak tangga ini berada di antara pepohonan nan rindang, sehingga para pendaki selalu terlindung dari sengatan terik matahari. Setelah menempuh separuh pendakian, kita akan menyadari bahwa Pulau ini ternyata sangat subur.
Di ketinggian tampak aneka pepohonan seperti mangga, kelapa, kecapi, kayu hutan, dan masih banyak jenis pohon lainnya yang tumbuh subur di atas 80 meter dari permukaan laut (dpl). Untuk mencapai bibir pantai, kita harus berenang sekitar 10 meter karena perahu kecilpun tak bisa merapat ke pantai yang berbatu karang ini.
Kebijakan Pengelolaan
Nama Pulau Rondo tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
[caption id="attachment_262711" align="aligncenter" width="459" caption="dok. pribadi"]
Disini terdapat titik referensi (TR) dan Titik Dasar (TD) 117, yaitu satu dari 183 Titik Dasar (base point) yang terletak di pantai-pantai terluar (di 92 pulau terluar) wilayah NKRI untuk mengukur batas Laut Teritorial sekaligus untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga.
Jauh sebelum itu, sebetulnya nama Pulo Rondo sudah masuk dalam dokumen negara sejak 1899, yaitu Besluit No.25 tanggal 18 September 1899. Arsip ini menguraikan kedudukan Gubernur Belanda di Aceh beserta daerah di bawah kekuasaannya. Termasuk pulau Rondo yang menjadi bagian Kabupaten Sabang.
[caption id="attachment_262708" align="aligncenter" width="444" caption="Prasasti di Pulau Rondo (dok. pribadi)"]
Di Pulau ini juga terdapat dua kuburan tua. Konon, ini adalah kuburan warga Aceh yang meninggal saat melakukan perjalanan haji menggunakan kapal laut.
[caption id="attachment_262710" align="aligncenter" width="491" caption="basecamp Pamtas P. Rondo (dok. pribadi)"]
Sehari-harinya, Pulau Rondo menjadi tempat persinggahan para nelayan tradisionil dari Banda Aceh dan Sabang yang mencari ikan tuna dan ikan marlin menggunakan perahu “pancung”. Sekitar pulau ini memang dikenal menjadi habitat dari dua jenis ikan ini. Potensi ikan ini sudah dimanfaatkan warga Aceh sejak zaman nenek moyang mereka. Pada musim angin barat, para nelayan menjadikan pulau ini sebagai tempat berlindung dari terpaan gelombang.
[caption id="attachment_262712" align="aligncenter" width="498" caption="penerangan pada malam hari menggunakan solar cell (dok.pribadi)"]
Pada malam hari, para nelayan dapat bercengkrama dengan para petugas Pamtas di bawah penerangan listrik tenaga surya (solar cell). Mereka tampak akrab sambil sesekali menerima panggilan telepon genggam dari sanak keluarganya, karena dari Pulau ini sinyal telepon dapat diakses dari Kota Sabang. Para nelayan ini sama sekali tidak menampakan kekhawatiran atas perahu-perahu mereka yang terpaksa harus ditambatkan agak jauh dari bibir pantai, lantaran perahu-perahu itu tak bisa ditarik ke darat karena terhalang karang dan batu gunung.
Masalah utama di Pulau ini adalah tidak adanya sumber air tawar. Selain harus dipasok dari Sabang, mereka juga memanfaatkan air hujan yang ditampung di dalam wadah terpal. Jika pasokan terhambat dan tidak ada hujan, maka pengalaman tidak mandi selama beberapa minggu menjadi hal yang lumrah. Kalaupun terpaksa, mereka merasa cukup dengan mandi di laut saja.
Karenanya barangkali terasa mendesak pula untuk segera membangun dermaga kecil di bibir pantai Pulau Rondo, untuk memudahkan distribusi bahan pangan dan air tawar ke Pulau ini. Sekaligus untuk menambah daya tarik wisatawan yang ingin menikmati keindahan salah satu Pulau Terluar NKRI ini. [Bersambung...]
Bang Oke -Kontrobutor www.batasnegeri.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H