Harapan setiap orangtua adalah melahirkan anak yang sempurna. Namun adakalanya anak terlahir dengan keadaan yang khusus, salah satu bentuknya adalah autisme. Autisme adalah gangguan perkembangan perpasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, dan interaksi sosial. Jumlah anak yang mengalami autisme semakin hari semakin meningkat dengan adanya metodeÂ
diagnosis yan dapat mengungkap data anak yang mengidap autisme. Penyebab dari gangguan autis dapat dari berbagai faktor, menurut Smith (1998) faktor yang menyiapkan (predisposing) dan faktor pencetus (precipitating) yang bisa menyebabkan gangguan emosional dan perilaku meliputi, kelainan syaraf, problem kimiawi tubuh dan metabolism, interaksi genetik, penyakit, cidera, hubungan keluarga, tekanan-tekanan masyarakat,Â
pengaruh-pengaruh sekolah dan banyak lagi faktor lainnya. Menurut Setyawan (2010) dari Jurnal Pola penanganan anak autis di Yayasan Sayap Ibu Yogyakarta, Secara garis besar, penyebab terjadinya kecacatan dapat disebabkan karena faktor dari luar (lingkungan atau eksogen) dan faktor dari dalam (keturunan atau herediti).
Berdasarkan data dari Centre of Disease Control (CDC) di Amerika memperkirakan prevalensi (angka kejadian) anak dengan Gangguan Spektrum Autisme di tahun 2018 yakni 1 dari 59 anak, meningkat sebesar 15% dibandingkan tahun 2014 yaitu 1 dari 68 anak. WHO memprediksi 1 dari 160 anak-anak di dunia menderita gangguan spektrum autisme. Sedangkan di Indonesia tidak ada data yang pasti.Â
Menurut Dokter Rudy, yang merujuk pada Incidence dan Prevalence ASD (Autism Spectrum Disorder), terdapat 2 kasus baru per 1000 penduduk per tahun serta 10 kasus per 1000 penduduk (BMJ, 1997). Sedangkan penduduk Indonesia yaitu 237,5 juta dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14% (BPS, 2010). Maka diperkirakan penyandang ASD di Indonesia yaitu 2,4 juta orang dengan pertambahan penyandang baru 500 orang/tahun.
Sebagian kecil dari penyandang autisme sempat berkembang normal, namun sebelum mencapai umur 3 tahun perkembangannya terhenti, kemudian timbul kemunduran secara bertahap, ada yang pada usia 18 bulan baru memperlihatkan gejala-gejala autisme. Gejala-gejala autisme akan tampak makin jelas setelah anak mencapai usia 3 tahun, yaitu berupa gangguan komunikasi verbal maupun non-verbal (terlambat bicara, banyak meniru),Â
gangguan dalam interaksi sosial (tidak menengok jika dipanggil, menjauh jika diajak main dan justru asyik main sendiri), gangguan dalam berperilaku (pada anak autistik terlihat adanya perilaku yang berlebihan dan kekurangan secara motorik), gangguan dalam emosi (kurangnya rasa empati, tertawa sendiri, sering mengamuk), gangguan dalam persepsi sensorisÂ
(mencium atau menjilat benda apa saja, tidak menyukai rabaan, bila mendengar suara keras langsung menutup telinga). Dengan demikian anak autis memiliki masalah pada sosial dan emosionalnya.
Fungsi otak anak dapat ditingkatkan dengan adanya rangsangan. Rangsangan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak, namun pada umumnya adalah pemenuhan kebutuhan berkomunikasi dan dukungan keluarga berupa kasih sayang. Rangsangan pada perkembangan anak dapat dilakukan dengan penyediaan mainan dan sosialisasi. Terapi merupakan hal penting yang harus diberikan pada anak
dengan autisme untuk meringankan gejala autisme dan mengurangi prognosis yang buruk di masa dewasa, meskipun mereka memiliki keterbatasan dan permasalahan yang bisa mengganggu pelaksanaan terapi tersebut. Terapi yang dapat diberikan pada penderita autisme salah satunya adalah terapi bermain. Terapi bermain merangsang anak belajar memahami dan berempati pada orang lain, memahami aturan dan peran yang harus dilakukan,Â
serta memahami instruksi dan aturan main yang telah ditentukan. Anak akan mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan jika dalam kelompok bermain anak tidak dapat memahami semua itu, misalnya hukuman dan sanksi sosial dari teman. Sebaliknya bila anak dapat berperan sesuai dengan harapan sosial, maka anak mendapatkan pujian dan perlakuan yang sesuai harapan. Anak autis dituntut untuk berkomunikasi dan bersosial,
sehingga melalui terapi bermain ini mereka dapat meningkatkan perkembangan komunikasi dan sosial.
Menurut Dian Andrina (2011), terapi bermain yaitu penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu kondisi perilaku yang bermasalah atau dianggap menyimpang dengan melakukan suatu perubahan serta menempatkan anak di dalam situasi bermain. Sementara Landerth menjelaskan bahwa terapi bermain merupakan hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis sebagai professional dalam prosedurÂ
terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang di pilih dan memfasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui media bermain. Terapi bermain mampu membangun perilaku positif individu dan membangun kemampuan dan keterampilan sosial, serta meningkatkan kemampuanÂ
berkomunikasi secara verbal dengan orang lain. Terapi bermain juga mampu diterapkan oleh anggota keluarga dalam situasi yang menyenangkan sehingga anak tidak merasa bosan dan takut dengan situasi terapi.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan. Pengaruh Terapi bermain Terhadap Interaksi Sosial Anak Autis di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun, SH Jambi Tahun 2014, menunjukkan ada pengaruh Terapi Bermain terhadap Interaksi Sosial Anak Autis di SLB Prof. Dr.Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Jambi Tahun 2014. Diharapkan SDLB dapat mempertimbangkan penggunaan bermain terapi sebagai terapi tambahan untuk penderita autis.Â
Ayu dalam penelitiannya yang berjudul Upaya Meningkatkan Keterampilan Anak Autis Melalui Terapi Bermain (Studi Terhadap Anak Autis di SLB Khusus Autistik Yayasan Fajar Nugraha Yogyakarta) hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha-usah yang dilakukan oleh terapis untuk meningkatkan keterampilan sosial anak autis melalui terapi bermain dilakukan melalui aktivitas olahraga, sosialisasi, we play, dan kegiatan bermain musik.
 Adapun yang menjadi faktor penghambat usaha yang dilakukan oleh terapis lebih banyak berasal dari diri anak antara lain keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh anak autis dan minat bakat yang berbeda-beda. Sedangkan yang menjadi faktor pendukung usaha yang dilakukan oleh terapis untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak autis melalui terapi bermain diantaranya sarana prasarana yang lengkap, dan adanya
 kesempatan anak autis untuk belajar di masyarakat. Bermain adalah unsur yang paling penting untuk perkembangan anak baik fisik, emosi, mental, intelektual, kreativitas dan sosial. Dimana anak mendapat kesempatan cukup untuk bermain akan menjadi orang dewasa yang mudah berteman, kreatif dan cerdas bila dibandingkan dengan mereka yang masa kecilnya kurang mendapat kesempatan bermain.
Pada dasarnya dunia anak adalah dunia bermain. Kegiatan bermain berperan untuk mengembangkan kemampuan fisik, intelektual, sosial dan emosional. Bermain juga memegang peranan untuk mengembangkan kemampuan intelektual, khususnya merangsang perkembangan kognitif, membangun struktur kognitif, belajar memecahkan masalah, rasa kompetisi dan percaya diri, menetralisir emosi negatif, menyelesaikan konflik,Â
menyalurkan agresivitas secara aman dan mengembangkan konsep diri secara realistik. Sehingga bermain dapat dijadikan sebagai salah satu metode terapi dan disebut dengan terapi bermain.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H