Mohon tunggu...
So͞oˌī ˈJenərəs
So͞oˌī ˈJenərəs Mohon Tunggu... Netpreneur -

No one is more hated than he who speaks the truth (Plato)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Polah Bapa Malah Bungah

31 Agustus 2015   10:12 Diperbarui: 31 Agustus 2015   10:12 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi orang tua memang sebuah tugas yang menantang, dulu ketika istri sedang hamil anak pertama saya sering berkelakar dengan mengibaratkan punya anak itu rasanya seperti membeli produk berteknologi canggih nan kompleks namun tanpa disertai buku manual.

Kondisi kala kami mulai menjadi orang tua hampir 3 tahun yang lalu tentu sangat berbeda jika dibandingkan masa orang tua kami misalnya. Saat ini akses informasi dan pengetahuan sudah lebih luas, orang tua di masa kini tidak lagi sekedar mengikut pengalaman yang sudah-sudah atau menduga-duga ketika mengalami sebuah situasi terkait dengan tugas yang diemban dalam mendidik dan membesarkan anak. Walau demikian bukan berarti kondisinya menjadi mudah, sebab banyak hal pula yang seringkali masih di luar dugaan terlebih ketika anak sudah makin akrab dengan dunia luar.

Beberapa hari lalu, kami sekeluarga (saya, istri dan anak) menghabiskan waktu untuk berwisata kuliner di sekitar tempat tinggal kami di Indonesia. Di salah satu tempat makan yang dikunjungi kami bertemu dengan keluarga lain yang juga memiliki anak kurang lebih sepantaran dengan anak. Tak ada tanda-tanda atau situasi tertentu yang membuat saya atau istri merasa harus waspada. Jadi kami bersikap biasa saja sambil memilih-milih menu di depan counter sementara anak berdiri di sisi saya sambil mengamati kondisi sekitar dan seperti biasa memberi komentar terhadap benda-benda di sekelilingnya.

Kebetulan anak kami memang tipe pengamat, setiap datang di tempat baru dia selalu asyik melihat kesana kemari sambil berceloteh dan sesekali memanggil saya atau mamanya untuk menunjukkan sesuatu yang dianggapnya menarik.

Intinya, semula segala sesuatu berjalan sangat wajar bahkan saking wajarnya mungkin saya jadi lengah. Kala itu yg penting saya menyadari anak ada di sisi saya jadi tak ada yang perlu diwaspadai.

Beberapa saat kemudian anak dari keluarga lain yang baru datang itu menghampiri anak kami. Bagi saya itu biasa saja, sebab memang cukup sering terjadi. Namun yang mengejutkan dan tidak saya duga-duga adalah tiba-tiba tanpa ba-bi-bu anak tersebut mengumpat ke anak saya dengan kasar sambil tangannya mencoba memukul. Saya yang ada di dekatnya seketika jongkok dan menarik anak untuk melindungi.

Anak saya tidak tampak ketakutan, dia bengong seperti orang bingung. Saya tahu dia tidak ketakutan sebab setiap ketakutan dia langsung mencari saya atau mamanya untuk dipeluk. Jadi kala itu reaksi anak saya kurang lebih sama seperti saya, heran, tak paham apa yang terjadi.

Sementara itu orang tua si anak tersebut tanpa berusaha mendekat dan tetap berdiri hanya berteriak ke anaknya:
 “Adik, jangan pukul-pukul itu kan teman!”  kurang lebih demikian sepanjang ingatan saya sambil menoleh ke mereka yang tampak tidak sigap atau merasa malu atas sikap anaknya.

Si anak menghentikan tindakan agresif, namun tidak juga mundur.
Saya sendiri masih dalam posisi jongkok di tengah-tengah kedua anak ini. Melihat anak saya tampak bingung maka saya jelaskan ke anak saya:
“Kaget ya? Memang tidak semua anak itu diajari sopan dan beradab”
“Ada yang beradab, ada juga yang orang tuanya ngga’ pernah mendidik caranya jadi manusia beradab”
“Biar saja, kalau dia cuma ngomong kasar just say “No, thank you” terus tinggalkan”
“Kalau dia main dorong, balas dorong. Kalau dia main pukul balas pukul sekeras-kerasnya”.

Sengaja saya ngomong begitu dengan volume keras supaya orang tua si anak dengar. Bahkan setelah itu saya sengaja melihat si Ayah.

Dari raut mukanya kedua orang tua itu tampak sedikit tersinggung dengan kata-kata saya. Tapi peduli amat buat saya, toh mereka sampai sejauh ini pun tak punya kesungguhan untuk menasehati anaknya terkait insiden ini.

Kata-kata saya sebenarnya cukup saya sesali, karena seumur-umur tidak pernah saya menggunakan kata “pukul” dan sejenisnya di hadapan anak lebih-lebih kali ini mendorongnya bertindak seperti itu. Saya akui pada saat itu saya dikuasai emosi dan cukup menyesal karenanya.

Si ayah lalu sedikit mendekat dan bertanya ke saya berapa usia anak saya. Dengan hanya sekilas memandang saya jawab usianya dua tahun sepuluh bulan. Lalu dia melanjutkan:
“Oh, sama kok usianya malahan anak saya baru dua tahun setengah” dengan nada seolah kejadian itu biasa saja dan karena usia mereka sepantaran seolah orang tua tak perlu ikut campur.
Mulai makin hilang kesabaran saya timpali lagi:
“Kami biasa didik anak untuk jadi orang beradab kok, wajar kalau dia bingung harus bersikap seperti apa dalam situasi ini!”

Tanpa menunggu jawaban dari si ayah tersebut saya mengajak anak dan istri untuk mencari meja, dan sengaja menjauhkan dari keluarga tersebut.
Namun sambil berjalan saya sempat mendengar si ayah bicara ke istrinya:
“Umurnya sama kok, badannya si X (nama anaknya) saja yang lebih besar” dengan nada bangga.
Makin terheran saya bisa-bisanya seorang ayah merasa bangga dengan sikap anaknya yang seperti itu.
Dan makin mengherankan tak ada ucapan maaf atau bahkan raut wajah menyesal sedikitpun.

Seperti inikah budaya orang Timur? Karena kami tinggal bergantian di Indonesia dan Australia maka saya cukup sering merasakan kontras tersebut, namun baru kali ini ada yang sedemikian ekstrem.
Di Australia pernah suatu ketika di taman bermain seorang anak menabrak anak saya secara tidak sengaja ketika dia sedang bermain bola dengan anaknya, itupun si ayah dan si anak buru-buru minta maaf dengan tulus dan raut wajahnya tampak tidak enak hati.
Nah ini jelas-jelas anaknya melakukan agresi malah ayahnya bangga.
Ini kah pondasi masyarakat beradab?

Bukan hendak membanding-bandingkan sembarangan, tapi harus jujur diakui bahwa kata “Maaf” dan menyesal itu seolah begitu berat terucap dari mayoritas masyarakat kita, sekalipun tindakannya benar-benar membawa dampak kerugian bagi orang lain.

Meski kejadian ini pertama kalinya saya alami, namun sikap orang tua terutama ayah di Indonesia yang seperti ini sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Ada semacam warisan manusia gua yang membuat ayah merasa bangga ketika anak laki-lakinya mem-bully, mengintimidasi atau mengancam anak lain.
Bahkan tak jarang dengan bangga pula mereka menceritakan kenakalan-kenakalan masa lalu seolah itu prestasi yang layak dibanggakan.

Sebagai instruktur beladiri terus terang saya merasa ngeri sekaligus khawatir dengan masa depan masyarakat kita terutama terkait sikap beradab. Mengajarkan anak untuk membela diri memang adalah penting, dan membela diri juga tidak melulu terkait dengan tindakan fisik.
Hanya saja penting juga untuk diingat bahwa secara alamiah anak usia di bawah 4 tahun memang belum memiliki insting untuk membela dirinya sendiri, perlindungan kepadanya sepenuhnya tergantung pada orang tua.

Oleh sebab itu di gym kami Australia, dimana saya juga mendapat jatah mengajar anak-anak biasanya untuk mereka yang di bawah 4 tahun tidak diajari dan dijejali dengan macam-macam. Kalau orang tuanya menghendaki anaknya diikutsertakan ke sasana (gym) kami tidak menolak namun juga tidak akan diajarkan teknik-teknik membela diri. Belum saatnya. Kalaupun orang tua sedemikian ngotot maka si anak harus mengikuti sesi khusus persiapan mental terlebih dahulu.

Di usia sebelia itu yang diajarkan lebih kepada mengenal bagian-bagian tubuh, melatih fokus, belajar mengikuti instruksi dan sebagainya. Sedangkan secara mental terutama dalam menghadapi pem-bully adalah dengan adalah dengan mengajarkan mereka untuk berkata “Tidak!” atau “Berhenti!” dengan suara tegas ketika mereka mendapat teror, agresi atau gangguan dari anak seusia maupun lebih tua. Melatih untuk bersikap agresif? Melawan? Memprovokasi? Tentu saja tidak.

Dan meski saya menjalani profesi sampingan seperti ini, untuk anak saya sendiri baik saya maupun istri sama-sama sepakat untuk tidak mengajarkan kepada anak sebelum usia lima tahun. Ya, kami mengajarkan dia untuk berkata “Tidak!” terhadap sikap orang terhadapnya jika dirasa mengganggu. Namun utamanya orang dewasa, misalnya seperti ketika di Indonesia sudah umum orang dewasa mungkin merasa gemas dan sebagainya mengungkapkan lewat pelukan, genggaman tangan dan bahkan ciuman tanpa minta ijin si anak dan orang tua atau bahkan seringkali tak peduli jika anak yang bersangkutan berkeberatan.

Kebetulan karena sejak lahir hingga selama satu tahun pertama anak kami sepenuhnya tinggal di Australia dimana orang pada umumnya tidak melakukan kontak fisik semacam itu maka sampai saat ini anak kami cenderung enggan disentuh, dipeluk apalagi dicium kecuali oleh orang tuanya. Dan kami sebagai orang tuanya pun menghargai itu, jadi ketika salah satu dari kami hendak menyentuh, memeluk atau mencium dan dia tidak berkenan maka kami pun tidak memaksakannya. Sebab di negara Barat dan juga menurut agama kami pemaksaan demikian oleh orang tua saja sudah termasuk pelecehan seksual.

Alasan kami sendiri tidak mengenalkan bela diri (seni) kepada anak sebelum usia 5 tahun kembali pada filosofi, keyakinan serta hasil studi yang banyak kami baca bahwa memang secara alamiah anak seusia anak kami masih belum memiliki insting membela diri. Oleh karena wajarnya anak sesusia ini memiliki persepsi tulus dan positif terhadap sesama maupun orang lain maka kami berusaha membiarkannya demikian. Biarkan dia memiliki kepercayaan positif terhadap orang lain, biarkan dia melihat kebaikan pada diri orang lain.

Jangankan mengajar teknik beladiri atau menghadapi pem-bully seusianya, tontonan kekerasan di film kartun saja tak pernah kami berikan. Bahkan sampai saat ini dia hampir tak pernah menonton televisi kecuali Teletubbies dan Barney yang menurut kami tidak mempertontonkan kekerasan dalam bentuk apapun.

Kembali lagi, dengan latar belakang pemikiran demikian bisa dibayangkan bukan betapa terkejutnya anak kami dan bahkan kami sendiri ketika mengalami kejadian beberapa hari lalu. Kejadian dimana anak yang secara alamiah mestinya masih jauh dari sikap agresif dan kekerasan melakukan agresi demikian?

Dalam usia ini orang tua yang sepenuhnya bertanggung jawab atas keselamatan diri si anak dan saya akui saya sempat lengah. Meski setelah kejadian tersebut saya lebih waspada ketika ada anak lain mendekat ke anak saya. Namun kedongkolan dalam hati saya sebenarnya lebih ditujukan pada orang tua si anak. Dimana keberadabannya? Dimana nuraninya sebagai manusia lebih-lebih sebagai orang tua?

Apakah di Negeri ini nilai-nilai seorang laki-laki memang masih dilekatkan pada nilai-nilai jaman manusia gua? Agresif, terobsesi melakukan hal-hal ekstrem, tapi melempem ketika harus melakukan tanggung jawab sejatinya sebagai laki-laki seperti menjadi suami dan ayah yang sebenarnya?

Children Learn What They Live, If children live with hostility, they learn to fight (Dorothy Law Nolte)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun