Mohon tunggu...
So͞oˌī ˈJenərəs
So͞oˌī ˈJenərəs Mohon Tunggu... Netpreneur -

No one is more hated than he who speaks the truth (Plato)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Polah Bapa Malah Bungah

31 Agustus 2015   10:12 Diperbarui: 31 Agustus 2015   10:12 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata-kata saya sebenarnya cukup saya sesali, karena seumur-umur tidak pernah saya menggunakan kata “pukul” dan sejenisnya di hadapan anak lebih-lebih kali ini mendorongnya bertindak seperti itu. Saya akui pada saat itu saya dikuasai emosi dan cukup menyesal karenanya.

Si ayah lalu sedikit mendekat dan bertanya ke saya berapa usia anak saya. Dengan hanya sekilas memandang saya jawab usianya dua tahun sepuluh bulan. Lalu dia melanjutkan:
“Oh, sama kok usianya malahan anak saya baru dua tahun setengah” dengan nada seolah kejadian itu biasa saja dan karena usia mereka sepantaran seolah orang tua tak perlu ikut campur.
Mulai makin hilang kesabaran saya timpali lagi:
“Kami biasa didik anak untuk jadi orang beradab kok, wajar kalau dia bingung harus bersikap seperti apa dalam situasi ini!”

Tanpa menunggu jawaban dari si ayah tersebut saya mengajak anak dan istri untuk mencari meja, dan sengaja menjauhkan dari keluarga tersebut.
Namun sambil berjalan saya sempat mendengar si ayah bicara ke istrinya:
“Umurnya sama kok, badannya si X (nama anaknya) saja yang lebih besar” dengan nada bangga.
Makin terheran saya bisa-bisanya seorang ayah merasa bangga dengan sikap anaknya yang seperti itu.
Dan makin mengherankan tak ada ucapan maaf atau bahkan raut wajah menyesal sedikitpun.

Seperti inikah budaya orang Timur? Karena kami tinggal bergantian di Indonesia dan Australia maka saya cukup sering merasakan kontras tersebut, namun baru kali ini ada yang sedemikian ekstrem.
Di Australia pernah suatu ketika di taman bermain seorang anak menabrak anak saya secara tidak sengaja ketika dia sedang bermain bola dengan anaknya, itupun si ayah dan si anak buru-buru minta maaf dengan tulus dan raut wajahnya tampak tidak enak hati.
Nah ini jelas-jelas anaknya melakukan agresi malah ayahnya bangga.
Ini kah pondasi masyarakat beradab?

Bukan hendak membanding-bandingkan sembarangan, tapi harus jujur diakui bahwa kata “Maaf” dan menyesal itu seolah begitu berat terucap dari mayoritas masyarakat kita, sekalipun tindakannya benar-benar membawa dampak kerugian bagi orang lain.

Meski kejadian ini pertama kalinya saya alami, namun sikap orang tua terutama ayah di Indonesia yang seperti ini sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Ada semacam warisan manusia gua yang membuat ayah merasa bangga ketika anak laki-lakinya mem-bully, mengintimidasi atau mengancam anak lain.
Bahkan tak jarang dengan bangga pula mereka menceritakan kenakalan-kenakalan masa lalu seolah itu prestasi yang layak dibanggakan.

Sebagai instruktur beladiri terus terang saya merasa ngeri sekaligus khawatir dengan masa depan masyarakat kita terutama terkait sikap beradab. Mengajarkan anak untuk membela diri memang adalah penting, dan membela diri juga tidak melulu terkait dengan tindakan fisik.
Hanya saja penting juga untuk diingat bahwa secara alamiah anak usia di bawah 4 tahun memang belum memiliki insting untuk membela dirinya sendiri, perlindungan kepadanya sepenuhnya tergantung pada orang tua.

Oleh sebab itu di gym kami Australia, dimana saya juga mendapat jatah mengajar anak-anak biasanya untuk mereka yang di bawah 4 tahun tidak diajari dan dijejali dengan macam-macam. Kalau orang tuanya menghendaki anaknya diikutsertakan ke sasana (gym) kami tidak menolak namun juga tidak akan diajarkan teknik-teknik membela diri. Belum saatnya. Kalaupun orang tua sedemikian ngotot maka si anak harus mengikuti sesi khusus persiapan mental terlebih dahulu.

Di usia sebelia itu yang diajarkan lebih kepada mengenal bagian-bagian tubuh, melatih fokus, belajar mengikuti instruksi dan sebagainya. Sedangkan secara mental terutama dalam menghadapi pem-bully adalah dengan adalah dengan mengajarkan mereka untuk berkata “Tidak!” atau “Berhenti!” dengan suara tegas ketika mereka mendapat teror, agresi atau gangguan dari anak seusia maupun lebih tua. Melatih untuk bersikap agresif? Melawan? Memprovokasi? Tentu saja tidak.

Dan meski saya menjalani profesi sampingan seperti ini, untuk anak saya sendiri baik saya maupun istri sama-sama sepakat untuk tidak mengajarkan kepada anak sebelum usia lima tahun. Ya, kami mengajarkan dia untuk berkata “Tidak!” terhadap sikap orang terhadapnya jika dirasa mengganggu. Namun utamanya orang dewasa, misalnya seperti ketika di Indonesia sudah umum orang dewasa mungkin merasa gemas dan sebagainya mengungkapkan lewat pelukan, genggaman tangan dan bahkan ciuman tanpa minta ijin si anak dan orang tua atau bahkan seringkali tak peduli jika anak yang bersangkutan berkeberatan.

Kebetulan karena sejak lahir hingga selama satu tahun pertama anak kami sepenuhnya tinggal di Australia dimana orang pada umumnya tidak melakukan kontak fisik semacam itu maka sampai saat ini anak kami cenderung enggan disentuh, dipeluk apalagi dicium kecuali oleh orang tuanya. Dan kami sebagai orang tuanya pun menghargai itu, jadi ketika salah satu dari kami hendak menyentuh, memeluk atau mencium dan dia tidak berkenan maka kami pun tidak memaksakannya. Sebab di negara Barat dan juga menurut agama kami pemaksaan demikian oleh orang tua saja sudah termasuk pelecehan seksual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun