Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulang ke Ibu

22 Desember 2018   12:30 Diperbarui: 22 Desember 2018   13:22 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: tangerangtribun.com

Kau kini merasa bersalah.  Mungkin akan melekat, terpatri dalam rentang hidupmu.  Kau yang tak lagi melihat ibumu. Mendengar suara dan menyentuh kulitnya.  Sampai di titik ini kau berpikir kenapa dulu tak pulang saat ibu meninggal.Ia menunggumu di saat sakit itu.  Sampai ujung ajal menjelang, ia masih ingat kamu.  "Sudah pulang?"  Selalu bertanya begitu padaku.  Juga yang lain.

Kau mungkin tak ambil pusing perasaannya saat kau pergi.  Pergi tanpa pamit itu.  Entah ke mana dan menghilang tak ada warta.  Ia membantingkan badan di atas kasur.  Meronta sejadinya.  Ia menyesal menjodohkanmu.  Tapi dia tak tahu, sama sekali tak tahu dengan yang terjadi pada perempuan itu.  Gadis yang akhirnya kamu iyakan untuk dinikahi.  Kau sudah memenuhi keinginannya. Tapi kau juga kecewa pada perjalanan rumah tanggamu.

Aku mengerti, kau tertipu.  Tapi ibumu lebih dari itu.  Beban batinnya segunung.  Itu yang membuatnya sering limbung.  Kadang terjatuh.  Kemudian tak sadar.  Kami yang di rumah sangat khawatir.  Ia kemudian sakit-sakitan.

Ia amat mencemaskanmu.  Pikirannya jauh mengembara sampai ke ujung gelap.  Prasangka buruk tentangmu yang dalam bayangannya ada pisau di tangan.  Pisau yang tajam dan bergerak menancap tepat di jantungmu. Kamu mati entah di mana dan kami buta di mana kuburmu.

Itu yang membuatnya berlama-lama di depan televisi.  Menunggu berita.  Menunggu berita lagi.  Dia bilang, siapa tahu muncul di sana.  Di layar teve itu.  Dan kami pun bergantian menyimak berita juga. Walau nihil tak kenal hasil.

Anakmu sudah besar.  Anak yang bukan anakmu itu.  Tapi istrimu, perempuan yang kau tinggal pergi itu, tetap mencantumkan namamu sebagai bapak anak itu.  Jika kau tahu, kau pasti keberatan.  Dan entah apa yang akan diperbuat pada perempuan itu.

Aku mengerti.  Juga ibumu itu.  Betapa terkapar perasaanmu ketika tahu istrimu sudah hamil tiga bulan.  Sedang kau baru menikah satu bulan.  Lantas kau bergegas pulang ke rumah sesudahnya.  Menemui ibumu.

Kau gagap menyampaikan kenyataan pahit.  Mulutmu terkunci bercerita kepada ibumu.  Dan hanya  kalimat singkat yang terucap.  Itu pun kepadaku.  "Dia hamil bukan karena ku."

Perempuan itu pilihan ibumu.  Dia carikan karena kau belum punya pandangan.  Umurmu sudah matang waktu itu bukan? Sedang ibumu ingin melihatmu di pelaminan.

Ingat, ia begitu karena perhatiannya kepadamu.  Perhatian yang besar. Sampai kau masih diajari ini itu yang padahal kau sendiri sudah tahu.  Itulah ibumu. Ibu kita itu.

Aku bangga, kau mengiklaskan diri dengan pilihan ibumu.  Terhadap perempuan yang sering dipuji sebagai si manis. Kau bilang waktu itu,"Aku masih ingin sendiri."  Tapi akhirnya luluh pada kemudian waktu saat ibu berucap: apa menunggu aku mati?

Kau terkunci.  Kau luluh.  Kau menerima.  Dan secepatnya, kalian menikah.  Secepat itulah yang membuat ibu lega.

Kini di pusara ibumu kau tertunduk.  Sepertinya wajah ibumu tengah kau ingat-ingat. Wajah saat kau kecil dan dia membopongmu. Wajah saat kau sekolah dan dewasa.  Juga wajah  saat kau tinggal pergi. Tapi bukan wajah terakhirnya yang hilang senyum.  Yang kau tak pernah tahu itu.

Kau tidak tahu mau bilang apa, sepertinya. Rumput-rumput di kuburan itu kau tatap sekenanya. Satu dua kau cabut. Sesudahnya terhenti.  Kau terdiam lagi.

Aku hanya menduga, kau ingin meledakkan tangis.  Tapi enggan.  Kau tahan air mata itu meleleh.  Kau  menekan lembut kedua matamu dengan ibu jari dan telunjuk. Tapi air mata itu berderai.  Dan kau terisak-isak.  

Aku sengaja membiarkanmu sendiri.  Aku melangkah menjauh.  Ke arah barat menuju pintu masuk pemakaman itu.  Aku ingin kau berdua dengan ibu.  Ibu kita itu. Sepuasmu.  Karena dia yang pergi dengan rindu yang berat terhadapmu, hingga  keranda yang membawanya berbobot berlipat-lipat.  Dan para penggotong kepayahan.  Betapa berat rindu ibu terhadapmu waktu itu.

                     ***

Selamat Hari Ibu.....

S_pras, 22 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun