Kau terkunci. Â Kau luluh. Â Kau menerima. Â Dan secepatnya, kalian menikah. Â Secepat itulah yang membuat ibu lega.
Kini di pusara ibumu kau tertunduk.  Sepertinya wajah ibumu tengah kau ingat-ingat. Wajah saat kau kecil dan dia membopongmu. Wajah saat kau sekolah dan dewasa.  Juga wajah  saat kau tinggal pergi. Tapi bukan wajah terakhirnya yang hilang senyum.  Yang kau tak pernah tahu itu.
Kau tidak tahu mau bilang apa, sepertinya. Rumput-rumput di kuburan itu kau tatap sekenanya. Satu dua kau cabut. Sesudahnya terhenti. Â Kau terdiam lagi.
Aku hanya menduga, kau ingin meledakkan tangis.  Tapi enggan.  Kau tahan air mata itu meleleh.  Kau  menekan lembut kedua matamu dengan ibu jari dan telunjuk. Tapi air mata itu berderai.  Dan kau terisak-isak. Â
Aku sengaja membiarkanmu sendiri.  Aku melangkah menjauh.  Ke arah barat menuju pintu masuk pemakaman itu.  Aku ingin kau berdua dengan ibu.  Ibu kita itu. Sepuasmu.  Karena dia yang pergi dengan rindu yang berat terhadapmu, hingga  keranda yang membawanya berbobot berlipat-lipat.  Dan para penggotong kepayahan.  Betapa berat rindu ibu terhadapmu waktu itu.
           ***
Selamat Hari Ibu.....
S_pras, 22 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H