Kau kini merasa bersalah. Â Mungkin akan melekat, terpatri dalam rentang hidupmu. Â Kau yang tak lagi melihat ibumu. Mendengar suara dan menyentuh kulitnya. Â Sampai di titik ini kau berpikir kenapa dulu tak pulang saat ibu meninggal.Ia menunggumu di saat sakit itu. Â Sampai ujung ajal menjelang, ia masih ingat kamu. Â "Sudah pulang?" Â Selalu bertanya begitu padaku. Â Juga yang lain.
Kau mungkin tak ambil pusing perasaannya saat kau pergi. Â Pergi tanpa pamit itu. Â Entah ke mana dan menghilang tak ada warta. Â Ia membantingkan badan di atas kasur. Â Meronta sejadinya. Â Ia menyesal menjodohkanmu. Â Tapi dia tak tahu, sama sekali tak tahu dengan yang terjadi pada perempuan itu. Â Gadis yang akhirnya kamu iyakan untuk dinikahi. Â Kau sudah memenuhi keinginannya. Tapi kau juga kecewa pada perjalanan rumah tanggamu.
Aku mengerti, kau tertipu. Â Tapi ibumu lebih dari itu. Â Beban batinnya segunung. Â Itu yang membuatnya sering limbung. Â Kadang terjatuh. Â Kemudian tak sadar. Â Kami yang di rumah sangat khawatir. Â Ia kemudian sakit-sakitan.
Ia amat mencemaskanmu. Â Pikirannya jauh mengembara sampai ke ujung gelap. Â Prasangka buruk tentangmu yang dalam bayangannya ada pisau di tangan. Â Pisau yang tajam dan bergerak menancap tepat di jantungmu. Kamu mati entah di mana dan kami buta di mana kuburmu.
Itu yang membuatnya berlama-lama di depan televisi. Â Menunggu berita. Â Menunggu berita lagi. Â Dia bilang, siapa tahu muncul di sana. Â Di layar teve itu. Â Dan kami pun bergantian menyimak berita juga. Walau nihil tak kenal hasil.
Anakmu sudah besar. Â Anak yang bukan anakmu itu. Â Tapi istrimu, perempuan yang kau tinggal pergi itu, tetap mencantumkan namamu sebagai bapak anak itu. Â Jika kau tahu, kau pasti keberatan. Â Dan entah apa yang akan diperbuat pada perempuan itu.
Aku mengerti. Â Juga ibumu itu. Â Betapa terkapar perasaanmu ketika tahu istrimu sudah hamil tiga bulan. Â Sedang kau baru menikah satu bulan. Â Lantas kau bergegas pulang ke rumah sesudahnya. Â Menemui ibumu.
Kau gagap menyampaikan kenyataan pahit.  Mulutmu terkunci bercerita kepada ibumu.  Dan hanya  kalimat singkat yang terucap.  Itu pun kepadaku.  "Dia hamil bukan karena ku."
Perempuan itu pilihan ibumu. Â Dia carikan karena kau belum punya pandangan. Â Umurmu sudah matang waktu itu bukan? Sedang ibumu ingin melihatmu di pelaminan.
Ingat, ia begitu karena perhatiannya kepadamu. Â Perhatian yang besar. Sampai kau masih diajari ini itu yang padahal kau sendiri sudah tahu. Â Itulah ibumu. Ibu kita itu.
Aku bangga, kau mengiklaskan diri dengan pilihan ibumu. Â Terhadap perempuan yang sering dipuji sebagai si manis. Kau bilang waktu itu,"Aku masih ingin sendiri." Â Tapi akhirnya luluh pada kemudian waktu saat ibu berucap: apa menunggu aku mati?