“Kau tahu, menjadi pekerja politik dekat sekali dengan intrik. Manipulasi. Dan sesuatu yang abu-abu, yang kamu sendiri sulit untuk memahami.”
Dia hanya menatapku.
“Aku takut korupsi,” kilahku. “Apa kamu ingin, kelak punya suami mantan penghuni terali besi. Punya anak yang mencatat bapaknya pernah dipenjara?”
“Tapi, semua tergantung kita sendiri….” Ujarnya.
Tergantung? Ya, tergantung kekuatan masing-masing. Dan aku mengukur diri: Tidak kuat dengan godaan dalam politik dan kekuasaan.
Ia masih berkutat dengan impiannya. Dan aku tidak perlu harus merangsak mematahkan ucapan-ucapannya. Percuma. Melawan perempuan adalah keniscayaan bahwa ia akan memenangkan pertarungan. Dan, sebagai lelaki, aku hanya akan menikmati kesia-siaan jika melayani.
“Beberapa hari yang lalu, ketika aku sudah mendapat tiket untuk temu kangen dengan Presiden, aku bermimpi. Mimpi yang membuatku melonjak dari ranjang dan hampir mengena langit kamar,” ucapnya tanpa melirikku. Ia lurus menatap langit. Langit sedikit awan. Angin lamat-lamat menerpa kami berdua.
Ah, bombastis, gumamku.
“Aku bermimpi, kau memenangi pertarungan pemilihan presiden. Kemudian tinggal di istana. Dan kita menjadi sorotan orang banyak. Sampai aku kurang tidur dengan karena mendampingimu. Tapi aku senang tiada berbilang.”
Sedemikian besar obsesi perempuan ini, hingga seperti tiada jeda agar aku bisa bicara mengalihkan topik.
Untung, cuaca mendadak berubah. Rintik hujan jatuh dari langit, sepertu tahu yang tengan bergemuruh dalam dadaku bahwa aku muak dengan mimpi kekasihku ini. Hingga kemudian, kami pulang menggunakan bus kota menuju penginapan kami masing-masih.