Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Gerobak-gerobak Menyerbu Balaikota

28 April 2017   10:36 Diperbarui: 29 April 2017   00:33 1632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klinik fotografi Kompas

DUA  anak usia sekolah, yang tak bersekolah itu berjalan tak sejajar, bahkan satu yang lebih kecil sedikit tertinggal.  Ketika melintas dan mendekat balaikota, mereka  terperanjat. Begitu banyak berjajar di sekitar gedung hingga ke tempat yang tak jauh dari trotoar,  yang oleh mereka di sana menyebut sebagai karangan bunga.  Tapi dua anak itu memandang lain.  Itu adalah uang yang menempel sebagai hiasan.  Mulanya  si kecil tak percaya, namun kakaknya meyakinkan,”Itu tempelan uang. Coba kamu lebarkan mata.  Terus tajamkan hati!" Dan si kecil pun mengucek mata dahulu,  lantas mengangguk sesudahnya.

Setengah berlari mereka pulang, mengabarkan kepada orang tua.  

“Uang?  Ah, masa iya.  Uang jadi hiasan. Ditaruh di luaran begitu saja!” sergah Ayahnya. 

“Aku yakin, itu uang,” kata si anak itu lagi.  Si kecil menguatkan ucapan kakaknya.  “Ayah ke sana  sajalah sekarang.  Buktikan  sendiri.”

Ramijo, ayah kedua anak tadi, menarik kaos oblong dari tali sampiran. Ia kenakan sambil berjalan.  Istrinya yang melihat berseru dari kejauhan,”Mau kemana, Bang!”  Lelaki itu hampir enggan menyahut.  Setelah teriakan kali kedua ia menjawab tanpa menengok: Balaikota!

***

Ramijo mengumpulkan teman-temannya.  Istrinya tak kalah gesit menyampaikan berita ke komunitasnya.  Sampai akhirnya, puluhan orang, mungkin mendekati bilangan seratus, sudah berada dalam titik kumpul.  Sore yang panas.  Langit yang membiru tapi sebagian memutih.  Bedeng-bedeng reot, yang ketika angin datang mengibas-ibas plastik yang menempel, seakan hendak ikut menyimak pembicaraan mereka.

“Aku melihat, uang-uang itu menempel sebagai hiasan.  Tadinya aku tak percaya.  Kemudian aku menyentuhnya.  Dan aku meyakini,” kata Kamijo memulai.

“Berapa banyak hiasan itu?” tanya Barko.

“Tak terhitung.”

Semua berdecak kagum.  Juga terperanjat.  Bingung.  Dan entah apalagi yang ada pada benak mereka.  “Apa rencana kita?” tanya yang lain.   

“Ya, kita harus ke sana secepatnya,” kata yang lain lagi.

“Kita perlu ambil.  Ketimbang terbengkelai. Akur…??”

“Akur………!!” nyaris bersamaan satu suara.

Terbayang oleh mereka jika bisa membawa pulang hiasan uang itu.  Baju, HP, gelang kalung.  Semua ingin dibeli.  Semua baru.  Ada juga yang ingin memperbaiki bedeng reotnya. Lainnya sesumbar akan bisa  beli motor seken bodong.   Tapi diam-diam ada yang berbisik: Ingin punya istri dua.

Mengitung jumlah gerobak yang terbatas, mungkin tak jauh dari angka lima puluh, agaknya timbul keraguan.  Sanggupkah hiasan-hiasan itu diangkut semuanya?  Berapa kali harus mondari-mandir dari kampung kumuh ke balaikota? Belum lagi situasi jalan yang kerap tidak bersahabat dengan gerobak-gerobak mereka.  Katanya mengganggu pemandangan kota, hingga sering kena razia aparat.

“Kita dekati orang-orang partai.  Aku ada beberapa yang pernah berkenalan, bahkan diberi nomor HP. Dulu mereka bilang, kalau butuh bantuan jangan sungkan untuk menghubungi.”

Semua berpandangan, mendengar Kamto berbicara.  Dia sudah beberapa tahun sebagai pengurus Hipmi: Himpunan Pemulung Muda Iklas. “Kita bisa minta bantuan pengadaan mobil pick up.  Dengan begitu banyak hiasan yang bisa dibawa.”

“Berapa partai?” Ramijo bertanya.

“Semua partai.”

Kamto, dengan tiga teman seperjuangan mendatangi kantor partai.  Partai Cabe Merah, Partai Kotak, Partai Perkutut, Partai Langit Bitu, Partai Tusuk Sate dan lainnya.  Ketika mereka menyampaikan kepentingannya, orang-orang berempati.  Setidaknya begini jawabannya:

“Pada dasarnya kami siap membantu.”

“Yang seperti ini mudah bagi kami.”

“Jangankan yang  begini, yang berat-berat pun kami pasti maju.”

Saat ingin mendapat kepastian,  orang-orang partai balik bertanya kepada mereka,”Apa yang akan Saudara-saudara berikan kepada kami di tahun 2019 nanti.  Tahu kan, itu tahun pemilu?”

Tentu saja mereka tidak bisa membalas apapun.  Mereka malah baru tahu bahwa dua tahun lagi akan ada pemilu.  Kalau sekedar janji, tentu bisa berjanji.  Ya, asal janji!!  Setidaknya, jika diberi kaos  kampanye  pasti akan dipakai.   Namun, merasa tahu diri bahwa janji itu bisa membebani, mereka jadi urung memanfaatkan jasa partai.

Berembug kembali. 

“Kamu bisa menghubungi teman seperjuangan kita di tempat lain,”kata Ramijo pada Kamto.  Maksud lelaki itu, para pemulung di daerah lain untuk datang dan mengambil hiasan-hiasan bersama-sama. 

“Kalian semua tahu maksudku?” lanjut Ramijo.  Semua menggeleng.  “Kita mencoba untuk tidak serakah.  Biarlah,  teman-teman yang dari luar kota ini ikut juga menikmati hiasan itu.”

Ketika Kamto menghubungi teman-teman Hipmi daerah lain, semua senada bahwa mereka melihat hiasan uang berderet di balaikota.  Mereka melihat dari siaran televisi yang entah di mana mereka menonton.  “Bawalah gerobak-gerobak kalian ke kota kami.  Kita berburu ke balaikota.”

***

Roda-roda gerobak menggilas jalan.  Kaki dari tubuh yang dekil menghentak aspal. Sesekali bila terpaksa, mereka menapaki trotoar. Asap dan debu bercampur dengan bau keringat mereka, bersintesis menjadi aroma yang menyengat warga kota.  Sapu-sapu tangan mendadak menutupi hidung dan  mulut.  Toko obat dan apotek sekejap kehabisan stok masker.

“Ada demo gerobak?” Orang-orang yang melihat berujar begitu adanya.  Dari empat penjuru mata angin: selatan, timur, barat, utara. Dan satu dari timur laut, barisan gerobak menembus kepadatan kota.

Lalu lintas kota keruh.  Ratusan kotak persegi panjang beroda dua itu telah menjadi raja jalanan semenjak pagi.  Aparat lalu lintas terkulai lemas, sempritan mereka nyaris seperti tak bersuara.  Gedung-gedung menatap kaku.  Pohon-pohon pinggir jalan merontokkan daun, menampakkan kejengkelan.

Gerobak-gerobak tak perduli dengan semua itu.  “Ke Balaikota aku kan kembali, walaupun apa yang terjadi!” Nyayian mereka sepanjang jalan. 

***

Gerobak-gerobak yang menyerbu balaikota.  Menyusuri sudut-demi sudut parkiran, taman dan tepian tembok pembatas.  Menaikkan hiasan yang mereka lihat uang.  “Kau lihat semuanya !!!  uang kan, uang!” teriak Ramijo lantang memecah hari.

Tiada gerobak yang tak berisi.  Jika mampu, mereka menambahkan lebih.  Ternyata ukuran hiasan tak semua sama.  Ada yang sepanjang gerobak.  Yang kecil pun tak sedikit. Orang-orang bersuka memilih semampunya.

Sudah!! Kali ini Kamto yang bersuara.  Kita sudah mendapatkan semua.  Sudah cukup sepertinya.  Saatnya kita kembali ke tempat kita masing-masing, lanjutnya.

Terik siang hari sudah menghajar.  Peluh telah menjamah ke tiap lekukan tubuh.  Laki-laki penarik gerobak menyebar senyum: hari yang membahagiakan.

Beberapa petugas balaikota berusaha menghalangi, tapi entah kekuatan apa, hingga mereka tak cukup daya.  Acungan tongkat karet hitamnya seperti mengacungkan balon panjang yang bisa ditekuk-tekuk dibuat pistol-pistolan.  Hingga,  tak ada yang terhalangi gerakan-gerakan mereka. 

Hari yang riuh di seputar balaikota.  Sampai akhirnya dari lantai tiga suara ini menggema.  Dengan pengeras suara yang agaknya buru-buru dipasang, seseorang berkata: “Terimakasih atas kedatangannya. Bawalah yang ada di gerobak itu untuk kalian semua.  Halaman kami sudah sumpek.  Setidaknya, kalian sudah mengurangi kesumpekan hati kami juga…..”

Iringan gerobak keluar gerbang balaikota.  Mereka berkelompok  menuju arah mata angin dari mana mereka datang.  Oh....., aparat menyediakan mobil pengawal.  Hari yang istimewa, gerobak-gerobak itu nyaman melintasi jalan protokol. Kendaraan pribadi, angkutan umum  semua menyingkir menyilahkan jalan.

“Kamu tahu, kira-kira siapa yang bersuara dari dalam gedung tadi, Kamto?” tanya Ramijo sembari melambatkan tarikan gerobak. 

Kamto menggoyang-goyangkan kepala seenaknya.  Kemudian menatap yang bertanya.  “Barangkali Pak Walikota.”

*S_Pras, Bumi Cahyana, 28 April 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun