“Ya, kita harus ke sana secepatnya,” kata yang lain lagi.
“Kita perlu ambil. Ketimbang terbengkelai. Akur…??”
“Akur………!!” nyaris bersamaan satu suara.
Terbayang oleh mereka jika bisa membawa pulang hiasan uang itu. Baju, HP, gelang kalung. Semua ingin dibeli. Semua baru. Ada juga yang ingin memperbaiki bedeng reotnya. Lainnya sesumbar akan bisa beli motor seken bodong. Tapi diam-diam ada yang berbisik: Ingin punya istri dua.
Mengitung jumlah gerobak yang terbatas, mungkin tak jauh dari angka lima puluh, agaknya timbul keraguan. Sanggupkah hiasan-hiasan itu diangkut semuanya? Berapa kali harus mondari-mandir dari kampung kumuh ke balaikota? Belum lagi situasi jalan yang kerap tidak bersahabat dengan gerobak-gerobak mereka. Katanya mengganggu pemandangan kota, hingga sering kena razia aparat.
“Kita dekati orang-orang partai. Aku ada beberapa yang pernah berkenalan, bahkan diberi nomor HP. Dulu mereka bilang, kalau butuh bantuan jangan sungkan untuk menghubungi.”
Semua berpandangan, mendengar Kamto berbicara. Dia sudah beberapa tahun sebagai pengurus Hipmi: Himpunan Pemulung Muda Iklas. “Kita bisa minta bantuan pengadaan mobil pick up. Dengan begitu banyak hiasan yang bisa dibawa.”
“Berapa partai?” Ramijo bertanya.
“Semua partai.”
Kamto, dengan tiga teman seperjuangan mendatangi kantor partai. Partai Cabe Merah, Partai Kotak, Partai Perkutut, Partai Langit Bitu, Partai Tusuk Sate dan lainnya. Ketika mereka menyampaikan kepentingannya, orang-orang berempati. Setidaknya begini jawabannya:
“Pada dasarnya kami siap membantu.”