Tentu tidak akan ditemukan Gunung Unyur sebagaimana lazimnya gunung. Karena ini adalah nama sebuah desa. Ada gundukan tanah setinggi lebih sepuluh meter jika diukur dari jalan di sisinya. Gundukan yang menyerupai gunung sebagaimana gunung berapi. Tepatnya pada sisi utara perbatasan desa dan sedikit ke bagian barat. Mungkin itulah yang mendasari desa itu di beri nama Gunung Unyur. Tetapi tiada yang tahu apa arti Unyur. Jangankan catatan sejarah, cerita lisan pun tak juga sampai ke telinga warga. Warga desa pun tak ada yang merasa perlu tahu apa makna Unyur.
Terceritalah di sana, di Desa Gunung Unyur itu, seorang lelaki bernama Tralala. Yang entah kesengajaan Tuhan, dia mendapat jodoh bernama Trilili. Setelah memasuki masa pensiun sebagai pegawai BUMN di Ibu Kota Negara, Tralala mengajak istrinya pulang ke kampung halaman untuk menetap menjadi warga di sana. Jakarta sudah terlalu tua untuk kita tempati terus, Trilili, katanya pada suatu ketika. “Seumuran kita butuh suasana yang tenang. Saya ingin tiap hari melihat sawah yang luas. Menatap gemericik air di kali yang bersih. Menghirup udara tanpa asap metromini. Suara jangkrik dan kedipan kunang-kunang, yang sudah lama tak kutemukan di sini. Saya rindu semua itu.”
Maka, bukan Trilili jika berbantah-bantah. Berumah tangga lebih dari seperempat abad hanya sedikit kejadian ia berseberang dengan suaminya. Itu pun untuk perkara prinsip saja. Mungkin, karena perasaan yang sama pada usia mereka, perempuan itu mengikuti kehendak Tralala. “Jika kamu anggap itu baik untuk kita. Saya ikut saja. Asal kamu telah memikirkannya dalam-dalam.”
“Saya sudah merenungkan itu mulai lima tahun yang lalu. Sudah memperhitungkan semua. Bahkan, di mana nanti kita tinggal, saya sudah menentukan itu,” ucap Tralala.
Sampai waktunya, setelah pensiun tentunya, pasangan ini akhirnya meninggalkan Jakarta. Hendak menuai harapan baru sebagai pesiunan dan menetap di desa. Menjadi orang desa kembali sebagaimana mereka bermula. Meninggalkan hunian yang kini ditempati satu anaknya yang sudah berumah tangga.
***
Kasak-kusuk mulai santer terdengar, Tralala akan mencalonkan diri menjadi Kepala Desa Gunung Unyur. Benar atau tidak, belum ada yang memastikan. Tapi selentingan itu makin hari makin memantul-mantul. Walau baru dua tahun menjadi warga desa, agaknya lelaki ini tengah didorong agar mencari peruntungan perebutan kekuasaan lokalan. Satu tahun lagi akan ada pesta rakyat Pilkades. Agaknya, masih belum banyak muncul nama yang akan bertarung melawan Kades sekarang.
“Bukan keinginan saya untuk menjadi Kades di Gunung Unyur ini,” ucap Tralala di hadapan para undangan dalam satu acaran sosialisasi dan penggalangan massa. Acara ini merupakan gagasan para simpatisan Tralala, agar dia kuat dukungan maju menghadapi petahana.
“Si Jumino itu yang mula-mula bilang ke saya,” ia melanjutkan. “ Pak Tralala, desa ini butuh pemimpin baru. Orang yang bisa mengubah wajah desa adalah orang yang kuat dan berpengalaman. Bapaklah satu orang itu. ”
Mulanya saya ragu, ungkap Tralala. “Ya, saya memang pernah punya jabatan. Tapi kan di perusahaan.” Tapi setiap kali bertemu Jumino, lelaki itu selalu bilang pada saya: bersedia jadi Kades kan, Pak?
Lantas, dirinya pun mulai terusik dan berpikir. Maka ia mencoba bertanya pada tokoh-tokoh desa: jika dirinya mencalonkan diri sebagai Kades, apakah hendak mendukungnya? Oh, mereka menyambut gembira. “Dan saya pun memantapkan diri untuk maju sebagai calon. Begitu Bapak-bapak sekalian, awal mulanya!”
Maka lewat kesempatan ini, saya menyampaikan apa yang ingin saya lakukan jika terpilih nanti, katanya dengan wajah berseri. Malam terlihat cerah waktu itu. Lampu berpendar di beberapa sudut tempat pertemuan yang seluruh kursi tampak terisi. Warga yang hadir menyimak santai penuh hikmat. Kotak kertas putih berisi makanan ringan di pangkuan, satu demi satu berpindah ke mulut.
Satu program besar, ungkapnya. Kita harus mengubah lapangan bola untuk bukan lagi jadi arena kebo gupak! Hadirin pun terbahak. Dari saya kecil, lapangan bola kita becek. Bikin betah kerbau berlumpur! Saya ingin; kelak kita punya stadion. Tidak perlu besar-besar, Secukupnya saja. Pernahkah Bapak-bapak mendengar sebuah desa di kabupaten ini punya stadion?
“Belum…belum…belum…!!!” Hampir serempak mereka menjawab seragam. Nah, Itulah, mengapa saya berpikir ke situ. Saya sudah menemui satu teman saya. Dia mahir menggambar bangunan dan dia telah merampungkan disain stadion itu, terangnya semangat.
“Stadion…..?!” Orang-orang saling bergumam.
Tralala meminta anaknya, yang saat itu mendampingi dalam pertemuan itu, untuk membawa gambar rencana stadion kepadanya. Sesudah di tangannya, ia mencari ujung kertas. Kertas yang dilipat agak tebal. Lantas membentangkan selebar tangannya yang terbentang. “Inilah gambar stadion itu…!” Suara Tralala membelalakkan mata yang hadir.
“Dari stadion inilah, saya berharap, kelak akan lahir bibit-bibit pesepak bola nasional dari desa ini!” Hadirin riuh bertepuk tangan.
“Maka, mohon dukung saya untuk mewujudkan ini. Masalah dana, kita bisa pikirkan nanti. Selalu ada jalan jika kita kerja sama.”
Programnya apalagi? Seorang yang mengenakan kaos lengan panjang sebuah partai bertanya.
Oh, tentang Pasar Pahing, pasar kita itu. Pasar desa akan kita renovasi agar lebih layak, tidak pengap, dan harus bersih. Kita buat tembok keliling agar aman dari pencurian. Kita buat kantor untuk pengurus pasar. Semua harus teratur agar tidak kumuh. Setuju, kan?
Serempak hadirin menjawab: Setujuuuu…..!
Semenjak itu, makin hari makin menguatlah dukungan kepadanya. Orang-orang banyak yang bertandang ke rumahnya. Mereka memberi usulan ini atau itu. Makin hari makin melelahkan saja, karena menyita waktu istirahatnya. Tralala mengerti, tiap kedatangan tamu lelaki, ia mesti menyiapkan sebungkus rokok untuk oleh-oleh.
Tapi, tak sedikit yang mencibir. Bukan lantaran setuju atau tidak dengan dia, tapi tentang sudut pandang. “Enak-enak pensiun, malah nyalon Kades!” ujar Sungkono, pensiunan kepala sekolah yang usianya sepuluh tahun lebih tua dari Tralala.
“Dia ingin bangun desa!” Radinem membalas tanpa memandang suaminya itu.
“Semua orang bisa ngomong membangun desa. Lha, mau mbangun pake duit darimana? wong biar bisa kepilih saja mesti keluar ratusan juta! Besar banget, kan? Cuma dapat nama saja nantinya. Itu kalau jadi. Nah, kalau gagal…!!!”
Tetapi, jika ada suara-suara seperti itu, yang seolah menyepelekan Tralala, orang-orang berpengaruh di lingkarannya mendekati orang-orang tersebut. Atau setidaknya mencatat mereka, hingga akan diketahui berapa kekuatan yang mendukung, menolak atau masa bodoh. Tim sukses inilah yang akan merancang aksi untuk mempengaruhi mereka.
Sampai pada akhirnya, lewat pemilihan langsung yang di adakan di lapangan desa, Tralala berhasil unggul dengan perolehan lima puluh satu suara dibanding Kades sekarang. Sesuatu yang mengejutkan. Ajaib! Sebelumnya ramai kabar, tidak akan mungkin Tralala bisa mengalahkan Jalitut, si Kades petahana itu. Lelaki pengusaha penggilingan padi itu telah mengerahkan lima dukun dengan berbagai ajiannya agar bisa menghadang kekuatan Tralala. Jalitut yang merasa masih pantas menjadi orang nomor satu di Gunung Unyur, akhirnya tersungkur pedih.
***
Awal-awal masa kerjanya sebagai Kades, ia menggenjot selesaianya dua tugu di perbatasan desa yang dilalui jalan kabupaten. Sebuah simbol bahwa keduanya adalah pintu gerbang. Inilah monasnya desa kita, katanya setiap dia ditanya mengapa membangun tugu itu. “Bukan sekedar bangunan tugu biasa, tapi ada pesan yang terpancar tentang karakter masyarakat kita. Jadi, disainnya dibuat religius. Ada kubah di sisi kanan dan kiri. Ada lambang merah putih; sebagai jiwa nasionalis kita sebagai bangsa".
Pastilah, semua pendukungnya mengangguk-angguk mendengarnya.
Darimana anggaranannya, seseorang bertanya. “Itu dari uang pribadi. Ini tanda mata untuk tanah kelahiran saya. Jangan tanya berapa besarnya. Ini pemenuhan nazar saya dulu, jika terpilih".
Sampai pada waktunya, kedua tugu itu selesai, dan Bupati berkenan meresmikan tugu bercat hijau tua dengan garis-garis putih pada bagian tertentu. Sisi kanan dan kiri tugu setinggi hampir lima meter, dengan ornamen yang religius-nasionalis tentunya. Kemudian, sebuah beton bertulang besi melengkung laksana pelangi di atas jalan aspal terhubung antara bangunan sisi kanan dan kiri. Pada siis luar beton itu tertulis: Selamat Datang Di Desa Gunung Unyur. Beberapa hari setelah peresmian, lampu hias aneka warna menari-nari. Sepanjang petang hingga pagi menjelang.
***
Beberapa tahun berjalan. Orang sudah mulai berani memprotes Kades Tralala. “Uang pendapatan desa mohon untuk dihemat, Pak Kades!” kata Ketua RT, Darimun. “Pilih kegiatan yang memberi manfaat untuk warga”.
Semenjak Tralala menjabat, yang dulu tidak ada acara ulang tahun desa, kini diadakan. Biayanya tentu puluhan juta. Agaknya, Tralala lebih senang dengan kegiatan seperti ini.
“Pak Kades, kapan membangun stadion?” bertanya si Gabrul, pemuda pendukungnya, penggemar sepak bola.
“Itu nanti. Itu untuk jangka panjang. Butuh pemikiran tersendiri.”
“Tembok keliling untuk pasar harus segera terealisasi, Pak Kades!” ucap Jiglong sedikit bernada tinggi. Ia pedagang pakaian, yang sudah dua kali kiosnya dibobol maling.
“Itu juga nanti, Glong. Semua harus terukur. Jangan serampangan (sembarangan)!” jawab Kades Tralala.
Tentu ada janji lain yang sempat terucap saat sosialisasi program dulu, yaitu pembuatan rumah jabatan kades. Tapi masyarakat enggan untuk menanyakan itu. “Buat apa? Yang penting-penting saja masih terabaikan!” Sebagian besar orang bernada suara sama.
Saya akan mengejar urusan jangka pendek, kata Kades Tralala. Nama jalan kita bereskan. Kita namai setiap jalan, setiap gang dengan nama tokoh pendahulu desa ini. Ini penting untuk penghargaan terhadap jasa mereka. Kita pasang papan nama di ujung jalan dan gang. Nama yang besar. Biar kades lain bisa mencontoh kita.
Sampai satu tengah tahun menjelang akhir masa jabatan, tiada janji besarnya yang terwujud. Bahkan, masyarakt pun seperti sudah lupa dengan itu semua. Kini mereka hanya bisa menikmati kenyataan, Kades Tralala jarang ke kantor. Urusan surat-menyurat sering tersendat. Seringkali, warga yang punya kepentingan harus menunggu dia berangkat ke kantor desa. Atau jika terpaksa, ada yang memburu ke rumah untuk sekedar meminta tanda tangan. Untuk beberapa urusan, tanda-tangan memang harus asli. Pihak kecamatan menolak jika yang tertera tanda tangan dari stempel.
Orang-orang sudah mendengar, Kades Tralala mulai terjangkit darah tinggi. Kadar gula pun tinggi. Jadi harus sering istirahat. Tapi, karena ini berlarut-larut, sudah banyak orang yang mengusik ketenangannya. “Sebaiknya mundur saja!” Kata Dulapit gusar. Lelaki ini dulu pendukung Kades Jalitut. Sudah banyak pula yang mengamini desakan untuk mundur.
“Percuma punya Kades begini. Ada warga meninggal, dia tak mau datang. Kalau datang langsung ke kuburan. Tak mau ke rumah duka,” Ujar Gendon kecut.
“Kades males. Maunya mendatangi warga mampu saja. Giliran kerja bakti, kita-kita yang harus berangkat!” cibir Kusdiman, salah satu warga penerima beras miskin, sembari melinting papir tembakau.
Desakan mundur pada Tralala sampai juga ke telinganya. “Saya belum berpikir mundur. Percuma sudah melangkah begini, malah mundur. Tinggal sebentar saja. Orang kok nggak sabar!”
Sekali tiga uang, Trilili, istri Kades Tralala pun jarang di desa. Ia mulai banyak di rumah terdahulu, di Jakarta bersama anaknya. Berlama-lama ia di sana, menghindar dari kegiatan sebagai Istri Kades. Kali ini Tralala menengoknya, sekalian berobat.
“Rasanya lelah menjadi Kepala Desa…” ungkap Tralala pada Trilili yang bertanya: kamu terlihat kurus?
“Siapa suruh kamu jadi Kades?” istrinya menyahut. “Bukankah niat kita kembali ke desa untuk ketenangan hari tua!” lanjut istrinya.
Trilili memang tak setuju, sedari awal, ketika satu dua orangmulai meminta suaminya mencalonkan diri sebagai Kades. “Dia sudah tua. Sudah harus istirahat. Jangan diganggu urusan politik. Urusan begituan!” katanya kepada Jumino, juga beberapa orang lain yang bernafsu sekali membujuk Tralala agar bersedia. Tapi Trilili tak kuasa menghentikan semua itu.
“Kamu tidak sadar diperalat mereka, atau kamu memang berambisi pulang ke desa hanya untuk menjadi pemimpin di sana?” Trilili bertanya menggugat. Tralala terdiam. Ia tidak perlu menanggapi suara istrinya yang mulai menusuk-nusuk gendang telinga.
“Saya sudah memutuskan untuk menetap di sini. Di Jakarta. Sampai kamu mengakhiri masa jabatan!” kencang Trilili berkata.
“O… kenapa begitu. Saya tidak enak dengan warga. Bagaimana dengan urusan PKK. Urusan Dasa Wisma... Urusan yang membutuhkan Istri Kades. Kemarin-kemarin Pak Camat sudah menegur saya. Bu Camat pun menanyakan dirimu yang sudah beberapa kali tidak kelihatan memenuhi undangannya!”
“Terserah!!”
“Tidak bisa begitu dong!”
Kemudian keduanya berdiam sampai keesokan hari. Tampaknya satu sama lain sudah enggan untuk memulai pembicaraan. Sampai akhirnya Tralala berangkat berobat. Diketahui, dari hasil cek darah, kadar gula sangat tinggi dan butuh perhatian serius.
“Besok-besok saya pulang ke desa,” ucap Tralala kepada Trilili dan anak lelakinya.
“Ibu juga pulang, kan,” anak itu bertanya.
“Tidak. Ibu di sini saja!” Jawabnya ketus
Tralala bergeming. Posisinya sulit.
“Sekarang pilih. Tinggalkan jabatan. Atau tinggalkan saya!”
Kalimat Trilili kali ini sangat di luar dugaan. Suaranya runcing. bagaikan anak panah melesat menghujam jantung. Tapi Tralala menahan rasa untuk tidak memuntahkan amarah. Pantang baginya bertengkar dengan istri, apalagi di hadapan anak.
Ditataplah wajah kusut istrinya itu. Seperti menyimpan kepenatan selama menjadi istri Kades.
Teko Tak Berujung, 22 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H