Aku lanjutkan....
Di kampungku, tiada hiburan yang lebih mengesankan selain menonton layar tancap di lapangan bola depan SD-ku. Televisi belum kami punya. Aliran listrik juga tidak ada. Saat itu televisi masih menjadi barang mahal, sekalipun hitam putih 12 inci. Bilakah menonton televisi, pastilah di halaman kecamatan. Hanya kantor camatlah yang berpenerangan listrik bertenaga diesel. Dan di sanalah sebuah televisi terdiam dalam sebuah wadah berpelat besi berbentuk rumah. Dengan satu penyangga besi berdiameter 12 cm dengan tinggi mendekati dua meter, benda itu setia menanti kami sore hari. Sayang, itu tak lama. Sambaran petir mematikannya. Kami tak bisa lagi menikmati tayangan TVRI.
Hiburan layar tancap itu bukan semata untuk kampungku. Warga tetangga kampung yang berjarak begitu jauh, rela berjalan kaki menuju tempat hiburan murah meriah ini. Menyusuri kali, juga pematang sawah. Bagi lelaki, mereka berselendang sarung. Para perempuan tak lupa menyampirkan kain jarit pada tubuhnya. Cara mudah menahan terpaan dingin malam.
Ah, mengagumkan sekali. Layar tancap itu bisa menjadi pemersatu warga antar kampung. Warga yang dahaga hiburan modern pada masa itu.
Maka sore selepas maghrib aku mendatangi beberapa teman kecilku. “Yuk, kita berangkat sekarang ke lapangan!”
Siang hari kami tahu dari pengeras suara. Satu mobil niaga perusahaan rokok berkeliling dari kampung ke kampung yang sudah terjamah jalan beraspal. "Saksikanlah, banjirilah pemutaran film Derita Anak Tiri…!”
Lapangan sepak bola kampung kami disebutnya. Di sana nanti, layar putih dibentangkan untuk menerima citra proyektor.
Mendengar itu, orang-orang bergegas berkerumun di tepi jalan. Anak-anak berlarian membuntuti mobil yang berjalan pelan itu. “Pelem ya Pak… Pelem ya…!” teriakan mereka.
Pada petang hari, Ibu mewanti-wanti. “Kamu tak usah nonton pelem. Nanti sandalmu hilang lagi!” Sedang Bapak masih di sawah. Ia tidak tahu jika nanti malam akan ada tontonan besar. Tapi kalau pun tahu, Bapak pasti tidak ke lapangan. “Mending di rumah, istirahat, tidur nyenyak.” Selalu begitu katanya setiap ada pertunjukan. Padahal gratis. “Kamu tahu, apa jadinya kalau semua orang ke lapangan? Kampung jadi sunyi! Sepi! Rumah-rumah akan menjadi incaran maling!”
Benar juga sih alasannya. Tapi kenapa selalu saja, Bapak enggan, tidak seperti orang-orang lain sebayanya.
Sedang ibu punya alasan sendiri. “Aku tak mau kena angin malam. Kamu tahu, masuk angin itu sepertinya sepele, tapi rasanya nggak enak. Apalagi kalau sampai mual-mual!” begitu kilahnya. Maka ia pun tak sekali waktu berangkat ke lapangan malam-malam.