[caption caption="Ilustrasi: wahanariau.com"][/caption]
Dulu itu, setiap aku mendengar orang bicara layar tancap, aku malah sedih. Tapi untunglah, setelah dewasa aku sudah bisa mengikis kepiluan itu. Layar tancap sudah tersingkir dari jagat hiburan rakyat. Dan orang-orang pun kemudian tak lagi bercerita tentang itu.
Kini, aku ingin bercerita kepadamu: kenapa aku dulu bisa dirundung pilu begitu. Aku berharap kau berkenan menyimak. Tetapi jika tidak, ya sudahlah, sudahi saja sampai di sini.
Tapi aku ingatkan juga padamu, kau nanti bisa penasaran jika tak menyimak ceritaku ini. Jadi, alangkah beruntungnya kau, jika mau memenggal waktu untuk kisahkuku yang satu ini.
Nah, aku mulai saja sekarang....
Orang tuaku memanggilku Bandol. Aku bertanya kepada ibu sewaktu kecil, ”Kenapa dipanggil begitu?” Ibu menatapku sejenak. Wajah bulat telurnya tampak benar. “Karena kamu bandel.”
Bandel? Aku belum mengerti apa hubungan antara Bandol dengan bandel.
“Bandol itu hanya plesetan saja. Maksudnya ya sama, yaitu bandel,” lanjut ibu.
“Oh, jadi karena aku ini bandel, aku lantas dipanggil Bandol.”
Tapi aku sungguh tak merasa bandel. Aku menganggap diriku biasa saja, seperti anak-anak yang lain. Mungkin karena aku ini anak tunggal sehingga tidak bisa dibandingkan dengan yang lain di dalam rumah?
Repotnya, kemudian orang-orang kampung sama juga memanggilku begitu. Nama Satria Pratamaku tenggelam. Hanya terdengar sewaktu guru mengabsen di kelas. Selebihnya: Bandol… Bandol… Bandol…! Tapi aku kecil menerima saja tanpa perasaan jengkel atau malu.