[caption caption="sarahgooddreau.com"][/caption]Satu RT sudah mafhum adanya, hanya Pak JK yang memelihara kucing. Maka satu ekor atau dua bahkan lebih dari jumlah itu, jika ada kucing yang membuat masalah di lingkungan RT, semua akan berteriak: “Dasar murid Pak JK!”
Tapi mau berkata apalagi, sedari dulu warga sudah menyampaikan keluhan kepadanya bahwa sebaiknya kucingnya dikurangi. Tentu maksudnya: jumlahnya. Jika dihitung, ada sekitar dua puluh ekor. Belum nanti, jika tiga betinanya yang tengah bunting melahirkan. Pasti tambah runyam.
“Ditembak saja, Pak!” saran Pak Jumadi.
“Dimasukkan ke karung, buang ke sawah!” Ini ucapan Paino, anak muda yang takut kucing.
“Oh, diracun pakai welirang. Orang-orang jaman dulu suka begitu!” usul mBah Tardi.
Usulan yang tidak berperikemanusiaan, ujar Pak JK menanggapi celotehan mereka.
Pak RT pernah pula memberi saran, agar Pak JK memberikan saja kepada siapa yang ingin memelihara kucing. Yang penting harus orang jauh. Jauh sekali. Maksud Pak RT, mereka warga desa lain. Kok begitu? Biar kucing itu tak kembali lagi ke rumah Pak JK, ungkapnya.
Tapi Pak JK tidak ambil pusing dengan semua usulan itu. Baginya memelihara kucing menjadi bagian gaya hidupnya. Tidak takut kena virus? Pernah seseorang bertanya kepadanya, dan ia menjawab dengan bertanya balik: “Virus. Virus apa?” Kalau memang kucing membawa virus, mestinya sedari dulu saya sudah penyakitan. Malah mungkin mati, sanggahnya.
“Virus torch, Pak JK!” orang itu memberi tahu, tapi hatinya kecut dengan sangkalan lelaki berkacamata tebal yang tengah dihadapinya itu.
“Ah, itu kan ketakutan orang-orang yang nggak suka kucing!” Pak JK masih meneruskan sangkalannya. Dan buntutnya, lelaki itu merasa tidak perlu lagi melanjutkan perbincangannya dengan Pak JK. Secepatnya dia bilang: wassalam, Pak!
Tapi, agaknya pertemuan RT pada akhir bulan ini, yang sedianya hendak membahas beberapa agenda, menjadi ajang pengaduan para warga yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan kucing-kucing Pak JK. Ini puncaknya, barangkali.
Urusan kerja bakti bersih-bersih lingkungan tidak menarik untuk dibahas panjang lebar. Semua oke: hari minggu pagi. Tok, tok, tok, suara Pak RT mengetok meja. Ronda disepakat untuk sementarai tidak perlu ada, karena belum ada aksi teror lagi. Apalagi arisan, sudah tidak menjadi perhatian utama, karena tinggal menyisakan satu orang yang lintingannya belum keluar. Kebetulan pemilik lintingan itu Pak JK, karena orang inilah satu-satunya yang belum beruntung mendapat uang arisan.
Maka, warga berkonspirasi, untuk tidak menyerahkan uang arisan, sebelum urusan kucing Pak JK selesai. Lelaki ini sontak keberatan. Baginya, tidak ada hubungan yang signifikan antara arisan dengan kucing. Arisan ya arisan. Kucing ya kucing. “Jangan dicampur aduk begini dong! Saya tersinggung, Bapak-bapak!”
"Ini seperti menjadikan kucing-kucing saya sebagai tumbal biar saya diberi uang arisan," ungkapnya geram.
Agaknya, warga lain tidak ambil pusing juga dengan celoteh Pak JK. Sekali ini, dia harus mendapat pelajaran. Harus ada sanksi sosial terhadapnya. Kucing-kucingnya telah menjadi sumber masalah yang tak juga usai di lingkungan RT. Herannya, Pak JK merasa memiliki kebenaran sendiri dan ia menutup kuping dengan omongan orang banyak.
Tahi kucing.
Tahi kucing menjadi pemicu hubungan yang dingin antara Pak Daljuli dengan Pak JK. Rumah mereka bersebelahan dan hanya dibatasi oleh pagar pohon tehtehan yang setinggi pinggang orang dewasa. Namanya saja kucing, mereka tidak tahu batas milik majikannya atau bukan. Semua dianggap sama. Pekarangan dan Rumah Pak Daljuli dianggap seperti milik tuannya, si Pak JK itu.
Mmm, asal tahu saja, ya. Pak Daljuli inilah yang pertama kali menamai lelaki itu dengan sebutan Pak JK. Maksudnya “Juragan Kucing”. Candaan kecil itu ternyata bergaung seantero RT, bahkan ke penjuru kampung. Dan akhirnya julukan itu disematkan seperti lencana. Dan Pak Kumoro, si lelaki ini agaknya menerima saja dirinya di panggil Pak JK. Menurutnya, itu bisa menandai kesejajarannya dengan Pak Jusuf Kalla.
Tahi kucing kerap kali ada di halaman depan, utamanya yang ada pasir atau tanah. Kadang di samping rumah, dekat jendela ruang makan. Atau malah. Kucing-kucing membuang kotorannya di talang cor rumah Pak Daljuli. Waduh, tetangga mana yang harus berdiam diri terus-menerus. Tahi kucing tak ubahnya dengan teror. Baunya membikin heboh seisi rumah. Belum tentu, tahi itu mudah dicari. Jika begini, Pak Daljuli hanya bisa mengomel: Sompreeeeet, tahi kucing!
Saking jengkelnya, suatu hari Pak Daljuli mengumpulkan tahi kucing itu ke dalam plastik. Dengan masker menutup separuh wajah, ia menyusuri pekarangan dan atap rumah. Lumayan, batinnya, dapat banyak. “Saya akan balas, Pak JK!”
Malam hari, satu kantong plastik itu ia lempar ke pekarangan Pak JK. Lebih tepat ke halaman depan rumah. Ditunggu-tunggu, keesokkan harinya, ternyata tidak ada reaksi.
“Mungkin hidung Pak JK sudah kebal. Padahal plastiknya nggak diikat. Kemungkinan, kotorannya berserakan!” Ia bercerita pada tetangganya suatu ketika.
Pak Daljuli bicara dengan keanggunan lelaki paruh baya. “Mohon maaf, Pak JK. Saya dan keluarga sudah muak dengan bau tahi kucing. Selera makan kami hilang. Mestinya, Bapak mengajari mereka, biar BAB-nya tidak di tempat tetangga!”
Pak JK tidak menanggapi langsung. Ia hanya mendengarkan. Mengarahkan wajahnya pada pengadu malam itu. Tapi, dibalik diamnya, ia merasa mulai dipojokkan. Dan itu melukai harga dirinya sebagai penyayang binatang. “Dasar, orang udik. Binatang itu butuh kasih sayang. Kalau bukan orang seperti saya, siapa lagi. Kenapa nggak mau belajar seperti orang barat. Mereka penyayang binatang. Anjing bisa di tempat tidur, bareng! Uh, di sini, tahi kucing sudah dijadikan delik aduan. Kampungan!” Tapi Pak JK bicaranya di dalam hati, sambil menghisap kretek Djie Sam Soe dalam-dalam.
Genting Nggelosor.
Rumah sebelah kanan Pak JK adalah keluarga Pak Sumeri. Pegawai pengairan kabupaten. Apesnya, setiap musim hujan, rumahnya kerap kali terairi dari curahan langit. Ihwalnya bukan karena rumahnya tak beratap, tetapi genting-genting rumah banyak yang nggelosor, turun tidak nyantol di reng.
Dugaan yang paling akurat, itu disebabkan oleh kucing Pak JK. Dan Pak Sumeri sangat meyakini hal itu. Bagaimana tidak. Serombongan kucing sering berkeliaran. Pagi, siang bahkan malam. Mereka berkejaran, tidak saja di pekarangan tapi sudah ke atap rumah.
“Genting-genting rumah saya sudah menjadi arena gobag sodor!” kata Pak Sumeri malam itu.
Hadirin tertawa mendengar ucapan gobag sodor: permainan anak-anak tempo dulu yang sekarang terlupakan.
Pertemuan RT terasa hidup. Pak JK ikut tertawa, tapi hatinya kecut. Asap rokoknya dihembuskan tinggi-tinggi seperti hendak menembus langit-langit ruang pertemuan. “Kadal bunting!” batinnya.
Berkali-kali, saya harus panjat genting, Pak JK, lelaki itu melanjutkan aduannya. Saya sudah tua, hampir pensiun. Sudah harus hati-hati menaiki atap. Asal tahu saja, Bapak-bapak. Aslinya saya ini hyperphobia, takut ketinggian. Tapi terpaksa, daripada kebocoran terus, saya nekad naik genting. “Kan nggak mungkin, istri saya yang mbenerin genting mlorot. Apa kata warga RT? Mosok ada perempuan pakai daster naik atap rumah!”
Warga yang ada dalam pertemuan itu tertawa lagi. Ha ha ha ha…., bersamaan.
“Baguslah. Itu kan emansipasi!” kata Pak JK, tapi hanya di dalam hati sambil menjentikkan rokoknya.
“Jadi, Pak JK. Penderitaan keluarga kami sudah teramat sering. Hanya karena kami menjaga pertetanggaan, maka kami, khususnya saya masih mau bertoleransi. Tapi…. Maaf saja. Mumpung ini waktu yang tepat, saya harus katakan, saya sudah tidak mau dikerjai oleh kucing-kucing Pak JK lagi.”
Pak JK manggut-manggut, kemudian menarik dengan ibu jari dan telunjuk kirinya bersama-sama pada sekitar lubang hidungnya. Tiga kali.
“Harga diri saya jadi menurun, Pak JK. Mosok kucing-kucing bermain-main di atas kepala kami sekeluarga. Kami kan manusia, peradabannya lebih tinggi daripada kucing!”
Dengan sedikit menyeringai Pak JK membatin:”Sampean pada belum tahu, makanan kucing saya itu kavilar. Hmm, sampaean belum pernah makan to? Kok ngaku peradabannya lebih tinggi.”
Kucing kawin.
Persoalan kucing kawin tidak kalah peliknya dengan dua aduan yang telah dijembreng oleh dua orang tadi. Hampir semua warga yang hadir bersenada bahwa mereka terganggu dengan kelakuan kucing-kucing Pak JK saat birahi. Erangannya mengagetkan. Jika saja sebentar mungkin tidak jadi soal. Tapi karena lama dan seperti tak punya kendali, kuping-kuping warga RT seperti ditusuk duri pohon salak. Dan, itu kerap terjadi pada malah hari, saat mereka harus istirahat.
“Kami menghargai anugerah Tuhan pada kucing-kucing untuk beranak pinak, Pak JK. Tapi kalau kelakuannya mengganggu tetangga, mestinya perlu diupayakan suatu tindakan dari Bapak selaku pemilik. Kasih dong mereka tempat yang nyaman buat indehoi……..!”
Gerrrrr………. Lagi, lagi forum pertemuan meledakkan tawa.
Mmm…… muka Pak JK lagi-lagi kecut, setelah mendengar Aduan Pak Sampurno itu.
Ada yang lain? Tanya Pak RT.
Kemudian seseorang mengangkat tangan kanan. “Oh, silakan Pak Jumali. Singkat saja ya, sudah malam!”
Dengan suara dalam dan penuh wibawa, Pak Jumali yang pensiunan tentara berpangkat Sersan Kepala berucap. “Saya mengusulkan, begini. Saya menghormati hobbi Pak JK ngingu kucing. Tapi jangan dibikin beranak pinak. Coba dipikirkan untuk dikebiri saja!”
Pak JK terbelalak dengan ide Pak Jumali. Ia geregetan dan misuh-misuh, tapi tetap di dalam hati: “Asu…asu….asu….!”
Akhirnya, Pak RT memberi kesempatan kepada Pak JK untuk memberi tanggapan atas aduan warga. “Terimakasih Pak RT, atas kesempatan yang diberikan kepada saya.”
Saya senang bisa menghadiri pertemuan yang menyenangkan ini. Kalau tidak menyenangkan pastilah saya tidak datang, ya toh, kata Pak JK sambil berdiri memandang segenap hadirin. Sebuah preambule yang manis.
Jika karena kucing-kucing saya, banyak warga yang akhirnya terganggu, maka selaku pemilik kucing dan atas nama kucing-kucing saya, saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Tentu bukan maksud saya untuk membuat suasana warga RT gaduh dan keruh begini. Tapi niatan saya baik, ingin menjadi penyayang kucing. Mohon, ini digaris bawahi.
“Tapi Pak RT. Lewat kesempatan ini saya pun mau mengadu.”
Seketika, ruangan pertemuan menjadi senyap. Sorot mata terarah pada lelaki itu.
“Saya benar-benar terganggu dengan SMS yang sering masuk ke HP saya. Malam-malam, Pak RT. Waktunya kami sedang tidur. Isinya aneh-aneh. Saya yakin, pengirim SMS itu orang sini-sini juga.”
Orang-orang saling berpandangan. Seperti tengah menunjuk: “Jangan-jangan sampean, ya?”
Memang, belakangan ini tidur Pak JK tak senyenyak dulu. Entah kelakuan siapa, bertubi-tubi ia menerima SMS di saat tidur. Ia pikir berita penting, jadi terbangun dan lantas membacanya. Tetapi isinya gurauan semata. Istrinya sering uring-uringan. “Jangan dilayani, Pak. Wong edan!”
“Siapa tahu penting, Bu!” jawab Pak JK. Tapi ia pun kecewa. SMS yang datang ternyata dari nomor yang tak diketahui pemiliknya. “SMS sampah!” ujarnya.
Tak tahu siapa yang membuat cerita, akhirnya berkembang dari satu orang ke orang lain. Kata cerita itu, saat kucing kawin, hal itu menunjukkan aktivitas yang sama pada pemiliknya. Kontan, mendengar itu, mereka yang sudah getun, jengkel dengan kucing Pak JK, melampiaskan dendamnya.
Dengan nomor-nomor baru, satu per satu merangkai kata dan melayangannya ke HP Pak JK.
Setiap mendengar ada erangan kucing kawin, mereka langsung bersiap-siap! Seperti tengah mendapat peringatan dini tsunami. Ambil HP, lantas membuat pesan singkat. Dan SMS pun terkirim. Yes! Mereka girang.
“Santai saja Pak JK, nggak usah buru2.”
“Lebih cepat lebih baik.”
“Kalau kedalaman bahaya lo.”
“Awas, kucingnya ngintip.”
“Pemanasan dulu dong!”
SMS seperti itu sungguh menyebalkan Pak JK. Sampai akhirnya ia mematikan saja telepon selularnya saat ia beranjak ke tempat tidur. Ia sayang kalau mengganti dengan nomor baru. Untuk punya dua HP, ia merasa tidak perlu. Pemborosan.
"Nah, Pak RT. Betapa saya dan istri sudah mengalami malam-malam yang penuh teror akibat ulah mereka. Saya sulit melawan perbuatan yang tidak menyenangkan itu. Jujur, saya enggan melaporkan ke polisi. Nanti urusannya panjang. Walaupun ini termasuk delik aduan. Saya berhak untuk itu kan. Ini kan negara hukum kan."
Tapi, demi menjaga pertetanggaan, saya iklas saja dengan semua ini. Biarlah mereka bosan sendiri, tandas Pak JK.
Beberapa hadirin sangat terkesima dengan ungkapan hati Pak JK. Ada juga yang sekilas nyengir. Ada yang masa bodoh juga. Dan sebagian mendengarkan sambil tersenyum.
Sementara itu, Pak RT yang duduk di barisan depan dan menghadap warganya hanya terdiam. Tak ada pikiran: bagaimana menanggapi aduan dari Pak JK tadi. Karena dia sendiri termasuk bagian dari gerombolan orang-orang yang mengirim SMS iseng tersebut.
Bumi Cahyana, 4 Maret 2016, Untuk seorang kompasianer bernama JK: Jati Kumoro
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H