Agaknya, warga lain tidak ambil pusing juga dengan celoteh Pak JK. Sekali ini, dia harus mendapat pelajaran. Harus ada sanksi sosial terhadapnya. Kucing-kucingnya telah menjadi sumber masalah yang tak juga usai di lingkungan RT. Herannya, Pak JK merasa memiliki kebenaran sendiri dan ia menutup kuping dengan omongan orang banyak.
Tahi kucing.
Tahi kucing menjadi pemicu hubungan yang dingin antara Pak Daljuli dengan Pak JK. Rumah mereka bersebelahan dan hanya dibatasi oleh pagar pohon tehtehan yang setinggi pinggang orang dewasa. Namanya saja kucing, mereka tidak tahu batas milik majikannya atau bukan. Semua dianggap sama. Pekarangan dan Rumah Pak Daljuli dianggap seperti milik tuannya, si Pak JK itu.
Mmm, asal tahu saja, ya. Pak Daljuli inilah yang pertama kali menamai lelaki itu dengan sebutan Pak JK. Maksudnya “Juragan Kucing”. Candaan kecil itu ternyata bergaung seantero RT, bahkan ke penjuru kampung. Dan akhirnya julukan itu disematkan seperti lencana. Dan Pak Kumoro, si lelaki ini agaknya menerima saja dirinya di panggil Pak JK. Menurutnya, itu bisa menandai kesejajarannya dengan Pak Jusuf Kalla.
Tahi kucing kerap kali ada di halaman depan, utamanya yang ada pasir atau tanah. Kadang di samping rumah, dekat jendela ruang makan. Atau malah. Kucing-kucing membuang kotorannya di talang cor rumah Pak Daljuli. Waduh, tetangga mana yang harus berdiam diri terus-menerus. Tahi kucing tak ubahnya dengan teror. Baunya membikin heboh seisi rumah. Belum tentu, tahi itu mudah dicari. Jika begini, Pak Daljuli hanya bisa mengomel: Sompreeeeet, tahi kucing!
Saking jengkelnya, suatu hari Pak Daljuli mengumpulkan tahi kucing itu ke dalam plastik. Dengan masker menutup separuh wajah, ia menyusuri pekarangan dan atap rumah. Lumayan, batinnya, dapat banyak. “Saya akan balas, Pak JK!”
Malam hari, satu kantong plastik itu ia lempar ke pekarangan Pak JK. Lebih tepat ke halaman depan rumah. Ditunggu-tunggu, keesokkan harinya, ternyata tidak ada reaksi.
“Mungkin hidung Pak JK sudah kebal. Padahal plastiknya nggak diikat. Kemungkinan, kotorannya berserakan!” Ia bercerita pada tetangganya suatu ketika.
Pak Daljuli bicara dengan keanggunan lelaki paruh baya. “Mohon maaf, Pak JK. Saya dan keluarga sudah muak dengan bau tahi kucing. Selera makan kami hilang. Mestinya, Bapak mengajari mereka, biar BAB-nya tidak di tempat tetangga!”
Pak JK tidak menanggapi langsung. Ia hanya mendengarkan. Mengarahkan wajahnya pada pengadu malam itu. Tapi, dibalik diamnya, ia merasa mulai dipojokkan. Dan itu melukai harga dirinya sebagai penyayang binatang. “Dasar, orang udik. Binatang itu butuh kasih sayang. Kalau bukan orang seperti saya, siapa lagi. Kenapa nggak mau belajar seperti orang barat. Mereka penyayang binatang. Anjing bisa di tempat tidur, bareng! Uh, di sini, tahi kucing sudah dijadikan delik aduan. Kampungan!” Tapi Pak JK bicaranya di dalam hati, sambil menghisap kretek Djie Sam Soe dalam-dalam.
Genting Nggelosor.
Rumah sebelah kanan Pak JK adalah keluarga Pak Sumeri. Pegawai pengairan kabupaten. Apesnya, setiap musim hujan, rumahnya kerap kali terairi dari curahan langit. Ihwalnya bukan karena rumahnya tak beratap, tetapi genting-genting rumah banyak yang nggelosor, turun tidak nyantol di reng.
Dugaan yang paling akurat, itu disebabkan oleh kucing Pak JK. Dan Pak Sumeri sangat meyakini hal itu. Bagaimana tidak. Serombongan kucing sering berkeliaran. Pagi, siang bahkan malam. Mereka berkejaran, tidak saja di pekarangan tapi sudah ke atap rumah.