Awalnya ia sedikit canggung bercerita. Apalagi dengan gurunya. “Ayolah, saya juga bisa kagum dengan warung itu, kalau kamu mau bercerita,” pinta perempuan itu.
Saya senang sekali menunggu warung menemani Emak. Membantu mengambilkan apa yang diminta pembeli. Jadi, saya tahu, Bu, nama begitu banyak barang jualan, juga tempatnya, walaupun bertumpuk-tumpuk kurang teratur.
Bu Guru Susanti membinarkan mata. Mengatupkan bibirnya agak dalam. Sesekali membenarkan ujung kerudungnya.
Emak bilang, dari sini Emak dapat duit buat membiayai sekolah saya juga kakak saya. Emak mengajari, cara mendapat untung. Ia tunjukkan harga belanja, kemudian berapa harga jualnya. Sederhana sekali. Saya jadi tahu, berapa untungnya. Dua ratus perak sampai seribu. Yang lebih dari itu juga ada. Tapi sedikit jenisnya.
“Tuh, segitu, Mal untungnya. Makanya, hati-hati buang duit. Kamu mesti belajar hemat, nyari duit itu kagak gampang!” Jamal mengingat kembali pesan Emaknya.
Suatu kali ia ingin beli layangan. Emaknya melarang. Kata Emak, tiga ribu, empat ribu itu mahal, Jamal! Mendingan nunggu layangan putus, kata Emaknya. Ia manut, walaupun mendongkol. Ia pun mencoba mengejar layangan putus pada suatu sore. Berkejaran dengan beberapa temannya. Ia lebih cepat dan dapat. Dan ia merasakan, nikmatnya mendapatkan layangan putus. Butuh perjuangan. Di hatinya, harga layangan itu serasa jauh lebih tinggi nilainya dari tiga ribu perak. Pelajaran sederhana dari Emak.
Bu Guru terpana. “Dan warung itu akan selalu kamu kenang, Jamal?”
“Iya, Bu. Apalagi sudah ada kepastian,” ucap Jamal.
“Kepastian? Kepastian apa?”
“Kepastian, warung Emak harus dibongkar,” jelas Jamal.
Perempuan itu baru paham, setelah Jamal menjelaskan, warung Emaknya berada di sekitar Kalijodo. Keluarga mereka harus tercabut dari wilayah itu. Dan, akan menjadi penghuni salah satu rumah susun. Dan mereka harus menyewa tiap bulan.