Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Istri Keempat

18 Februari 2016   08:46 Diperbarui: 18 Februari 2016   12:57 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="plus.kapanlagi.com"][/caption]Seperti salah mendengar ucapan putrinya, sampai sang ibu harus mendekat anak bungsunya, hingga jarak keduanya tak lebih dari lima jari. “Menikah dengan lelaki yang sudah beristri. Istrinya sudah tiga?” tanya ibu itu.

“Apa itu sesuatu yang salah?” Lani balik bertanya.

Seketika hening. Ibu itu menghela nafas dalam-dalam. Jam dinding berdetak tak peduli dengan yang terjadi di ruang itu. Sedang malam merangkak naik ke dalam kesunyian.

Lani, perempuan yang setahun lagi akan menginjak usia dua puluh lima itu jadi terdiam. Seperti tahu, ia hendak mendapat ledakan amarah dari orang yang telah mengandung dirinya. Yang telah meninabobokan dalam masa embanan. Bahkan, yang turut mengusulkan agar dirinya kuliah di jurusan arsitektur saat akhir SMA. Hingga akhirnya, kini ia telah rampung sebagai Sarjana Teknik.

“Ini bukan soal salah atau benar. Ini tentang perasaan ibumu. Keluargamu. Dan juga perasaan kamu nanti. Kamu anggap gampang, sepertinya. Berumah tangga bukan bukan hanya urusan cinta. Senang!”

“Lebih dari itu, anakku” lanjutnya. “Apalagi, dengan lelaki banyak istri. Seberani itukah kami akan menghadapi banyak hal yang kamu sendiri tak pernah membayangkannya!”

Giliran Bapaknya berucap. “Orang-orang akan menuduhmu perempuan mata duitan. Cinta harta. Tak lebih dari itu."  Ia berhenti sejenak.  "Kamu kan anak kuliahan. Pemikirannya kok dangkal. Apa tak pernah sekalipun melihat kenyataan yang sudah-sudah!”

“Kalau sekedar untuk ingin punya mobil sendiri, misalnya. Tidak perlu dengan menikahi laki-laki itu. Bapakmu ini masih bisa membelikan. Bila perlu tunai. Mau mobil apa, tinggal bilang!” terusnya dengan mata tersorot tanpa henti pada wajah putrinya.

Lani masih terdiam. Ia tahu, orang tua yang dihadapannya tidak mau disela jika sedang bicara. Lani pun tahu, Bapaknya tidak sembarang bicara dengan tawaran mobil untuknya.

Ia bisa mengukur kekayaaan orang tuanya. Tanah sawah berhektar-hektar, toko emas, dan grosiran sembako, semua menjadi sumber pemasukan keluargannya. Yang karena itu, dia bisa kuliah pada fakultas yang mahal di Jakarta. Belum lagi, semua saudaranya bisa kuliah di berbagai perguruan tinggi di kota besar. Semua sudah selesai, mandiri dan punya usaha masing-masing.

Maka, untuk sekedar mobil bagi si bungsu, bagi Lani itu lumrah terwujud. Dan dirinya meyakini, itu bukan bualan orang tua agar dirinya mengurungkan niat menjadi istri lelaki berpaham poligami.

Tapi lambat waktu, akhirnya luluh juga. Orang tuanya menyerahkan semua risiko pada anaknya. Semua saudaranya tak bisa berbuat banyak. Lina tetap dengan keputusannya: menikah dengan pengusaha tambang batubara, yang sudah beristri tiga.

***

Perempuan muda berkulit bersih lagi tubuh sintal, yang wajah cantiknya sepadan dengan penyanyi dangdut Ike Nurjanah itu akhirnya menyudahi kelajangannya. Bersanding dengan lelaki yang terpaut usia lebih dari dua puluh tahun. Yang dari ketiga istrinya sudah memiliki anak sebanyak tujuh.

Seperti bukan anak orang kaya, seperti tidak ada laki-laki lain, seperti bukan anak kuliahan: begitu rangkuman komentar orang-orang terhadap kejadian ini. Dan baru Lani, satu-satunya perempuan di kampung yang dengan keputusannya, menyediakan diri menjadi istri lelaki yang sudah beristri. Ia menciptakan sejarahnya.

Selalu orang menebak: pasti diiming-imingi sesuatu. Tidak mungkin, semuda dan secantik itu mau menjadi istri keempat. Mana mungkin ada lelaki yang bukan karena kemapanan keuangan berani mengambil hati gadis anak orang kaya juga.

Tapi Lani pun enggan menjelaskan: mengapa dirinya mau. “Pikir lagi… pikir lagi!” kata Saudara tertuanya, lelaki notaris itu. “Saya bisa carikan kenalan, kalau kamu mau. Dokter, pengacara, pengusaha. Atau yang lain, tapi jangan yang berpoligami.”

Toh akhirnya, resepsi pernikahan itu terlaksana juga. Sangat meriah dan terhitung besar-besaran, sebagai hajatan pamungkas keluarga itu. Semua cerita penentangan, sindiran seakan tawar dan masuk liang kubur. Perhelatan panjang selama tiga hari usai sudah. Lani sah: sebagai istri seorang lelaki pengusaha tambang.

Satu bulan lebih dari perhelatan itu, sebuah mobil Yaris putih menepi dan berhenti di depan rumah orang tua Lani. Perempuan berperawakan sedang, berbalut celan jeans dan T shirt lengan panjang keluar dari sisi pintu kemudi. Mobil baru. Masih terlihat plastik bening membungkus jok mobil.

Orang-orang pun menebak: itu pasti hadiah dari sang suami.

***

Tidak ada cerita pilu yang terungkap sesudahnya. Kecuali pernikahan yang membuahkan dua anak perempuan selama empat tahun berumah tangga. Tentang geliat usaha suaminya yang menebar dari mulut ke mulut, yang pasti bermula dari kerabat keluarga Lani. “Daftarkan saja, dia lagi butuh banyak karyawan di luar Jawa!”

Orang sukses! Tajir. Penilaian yang wajar dari orang-orang terhadap suami Lani. Beberapa kali saat mengunjungi mertua, sebuah mobil mewah sporty menjadi pemandangan yang mengesankan. Walau kadang terlihat aneh, dengan kap terbuka, mobil itu melalang melindas aspal-aspal jalan raya kampung.

Tapi cerita sukses itu berubah sejalan meredupnya bisnis batu bara. Banyak karyawan yang dipulangkan ke daerah asal.
Pada kemudian waktu, Lani menghadapi satu keadaan yang tak dikira. Ia harus menerima dua orang anak dari istri ketiga.

“Kenapa harus tinggal di sini, Ayah?” ungkapnya pada suami.

“Aku tak punya pilihan lain. Dua kakakmu tak mau menerima, walau sebentar sekali pun.”

Kakak yang dimaksud suami Lani adalah dua orang perempuan, istri pertama dan kedua. 

“Ayah. Dua anak kita saja masih kecil. Aku sendiri repot.   Kenapa tidak diikutkan ke Bundanya saja?”

Suaminya menyahut. “Anak-anak itu yang memilih ikut aku. Ikut Ayahnya. Apa harus aku tolak?”

Lani menjadi tersentak ketika mendengar cerita bahwa istri ketiga menggugat cerai suaminya. Apakah dirinya menjadi pemicu itu? Tapi ia pun tak pernah sekali waktu bertanya pada suami tentang ikhwal yang dimaksud. Hanya dari suami, dirinya mendengar,”Dia minta satu milyar!”

Tapi Lani mencoba untuk bergeming, tidak mencampuri persoalan yang membelit suami dengan istri nomor tiganya. Itu urusan rumah tangga mereka, pikirnya.

Perceraian itu akhirnya benar terjadi. Setelah melalui beberapa kali persidangan di Pengadilan Agama, keduanya secara sah tidak lagi sebagai suami istri. Pisah.

Status Lani sesudah itu, ia naik menjadi istri ketiga. Pertanyaan yang menggelayut kemudian adalah: apakah kelak suaminya itu akan menikah lagi, menggenapkan kembali menjadi empat.

Lani baru merasakan sekarang, bagaimana posisi batin sebagai istri ketiga. Perasaan yang besar kemungkinan sama, sebagaimana perempuan yang telah meminta cerai itu. Ada rasa was-was: sampai kapan lelaki itu mau berdiam dengan tiga orang istri.

Ia malah tertekan dalam kenyataan ini. Menjadi tidak sesantai ketika menjadi istri keempat. Menjadi ada kecurigaan, jika sewaktu-waktu usaha suaminya bangkit, dan keuangan membaik.

“Apakah kelak akan ada lagi perempuan yang hadir, untuk menggenapkan?”

Suami Lani duduk tak menanggapi, ketika mereka tengah berdua duduk di teras belakang rumah, dan perempuan itu mengajukan pertanyaan yang tak terduga.

“Kenapa diam?” perempuan itu mendesak.

Lelaki itu menatap beberapa burung yang tengah berjingkrak-jingkrak dalam kandangnya. Ocehannya memecahkan suasana pagi. Siulannya diarahkan pada hewan-hewan piarannya: jalak suren, murai batu dan tiga lainnya.

Dan, tetaplah lelaki itu tak memberi jawaban. Hingga Lani kemudian memasuki rumah.

Ketidakpedulian Suaminya, memunculkan kecurigaan,”Jangan-jangan sudah ada niat ke arah sana. Atau, malah sudah kawin siri.”

Bukankah lelaki yang diam, kerap menyimpan misteri. Ia mulai mengembangkan asumsi-asumsi.

Sampai akhirnya ia memberi ketegasan.

“Jika kelak ada perempuan lagi yang hadir dalam kehidupanmu. Maka dengan segera aku akan mengajukan gugatan di Pengandilan Agama!”

“Ingat. Dua anak kita harus ikut aku. Dua anak titipan akan segera bersamamu. Dan aku belum memikirkan, berapa milyar yang akan aku minta nantinya!”

Tetapi, lelaki itu tetap membisu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun