Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Datang, tapi Bukan di Kalijodo

15 Februari 2016   17:01 Diperbarui: 17 Februari 2016   12:00 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="www.cnnindonesia.com"][/caption]

Badan ini masih belum bisa mekar juga, pikirku. Hingga dua lubang ikat pinggang aku geser lagi ke depan, agar sunduknya masuk ke posisi yang tepat. Aku ingin benar-benar kencang, biar celana jeans yang aku pakai tidak melorot. Kemeja hijau lengan panjang bermotif kotak dengan paduan garis hitam dan putih, menjadi pilihanku malam ini. Biarpun sudah hampir satu tahun membelinya, tapi masih nyaman dikenakan.

Aku linting lengan panjangnya ke atas mendekati siku. Aku bikin seperti gaya Jokowi.

Menjadi jomblo di malam minggu seperti ini terasa menyiksa. Apalagi bagi lelaki yang usianya sedang mengejar angka tiga puluh lima. Bertemu dengan kawan lama saat reuni sekolah manapun kena pertanyaan yang sama. Mana istrimu? Sudah punya anak berapa?

“Aku belum punya anak. Punya istri saja belum!” Aku jawab seperti itu. Apa adanya.

Mereka selalu tak percaya aku ini masih membujang alias jomblo. Soal wajah memang tak berani di bilang pas-pasan. Selalu dipuji mampu memikat banyak perempuan. Tapi nyatanya berbalik 360 derajad. Tak sekali pun aku pernah merasakan pacaran.

“Jangan-jangan kamu bukan laki-laki!” Pertanyaan candaan teman SMP yang bertemu pada waktu reuni itu seperti menendang selangkangan.

Bayangkan, dicubit saja wow rasanya! Apalagi ditendang.

Ada yang lebih gila lagi cara bercandanya. Teman yang dulu pernah satu perusahaan, bertemu di sebuah Hotel di Semarang. “Coba dong! Sekali-kali dimasukin ke comberan! Biar tahu rasanya!”

Saran yang tidak lucu. Keterlaluan. Tidak menjaga perasaan teman, batinku. Untuk yang seperti ini, aku langsung jawab, ”Semprul, telek bebek!”

* * *
Taksi yang aku tumpangi sudah sepuluh menit melaju ke arah Kaki Gunung Slamet. Aku senang, suhu di dalam taksi tidak terlalu dingin. Sepertinya sang supir tahu, daya tahanku mengadapi dinginnya AC. Seketika, saat aku masuk ke mobil, ia menaikkan suhunya hingga rasa dinginnya masih bisa kompromi.

“Baturraden, ya!” Aku berikan jawaban atas pertanyaan supir taksi saat mulai duduk di jok belakang. Melewati Kampus Grendeng, kemudian Desa Rempoa, akhirnya masuk wilayah Desa Ketenger.

Kini laju kendaraan mendekati tempat tujuan. Beberapa plat mobil pribadi dari luar kota tampak mendahului taksi yang aku tumpangi. “Ke tempat itu kan, Mas?” sang supir bertanya sambil melihat spion di bagian atas ruang kemudi.

“Ya…, ke tempat itu!” Aku tahu maksud pertanyaan supir taksi. Dan dia pun mengerti dengan jawabanku.

Walaupun tidak dengan menyebut keterangan tempat. Cukup dengan: “tempat itu”, jika lelaki meluncurke Baturraden malam hari, pasti jadi tahu sama tahu. Apalagi kami laki-laki. Sepertinya bisa membaca pikiran satu sama lain.

Entah kenapa, hampir semua lelaki sangat peka wawasannya terhadap tempat semacam itu.

Berbeloklah taksi ke arah kanan, ke sebuah pemukiman dan berhenti. Sejenak aku menoleh ke kanan dan kiri di dalam mobil, hingga tangan kanan saya membayar ongkos taksi.

Oh, ini... yang namanya Gang Sadar. Akhirnya sampai juga di sini, batinku. Tempat yang sering menjadi cerita orang banyak. Dan baru kali ini aku injakkan kaki dengan degub jantung yang mengeras.  Tapi mendadak bimbang: maju atau mundur.

Sejenak aku berhenti langkah. Sungguh ini seperti atraksi pribadi yang mendebarkan. Yang menguji adrenalin seorang jomblo sejati. Aku mendekati warung yang terdekat, sekedar beli rokok. Seorang lelaki yang usianya sepantaran denganku ramah melayani. Kesempatan, pikirku. Mumpung belum ada orang lain di sini. “Mas, sini!” Aku melambaikan tangan.

Sejenak, aku berbisik padanya. Dia tersenyum dan manggut-manggut. “Baru ke sini ya Mas?”  Aku mengangguh pelan. Ya, kataku pelan.  Ia kemudian mengambil telepon genggamnya dan menghubungi seseorang. Tampaknya dia senang sekali dengan maksud saya. Tertawanya kencang. Logat bicaranya khas Banyumasan.

“Cepet maring ngeneh ya. Aja kesuwen, melasi tamune mengko!” Maksudnya, cepat ke mari ya. Jangan lama-lama. Kasihan tamunya nanti.

Tak sampai sepuluh menit, seorang lelaki paruh baya masuk warung dan menemui pemiliknya.

“Mas, nanti Pak Kiswan yang mengantar ke sana!” Aku hanya mengiyakan lirih sambil memberi senyum mendengar nama Pak Kiswan itu.  Nama yang sama dengan pensiunan Mantri Kesehatan, tukang suntik di kampungku. 

* * *

Seperti ada dua kekuatan yang tengah bertarung. Jaket yang kukenakan tidak mampu membendung hawa dingin pegunungan Baturraden. Aku setengah menggigil. Tapi aliran darah di dalam tubuhku terasa mendidih. Uap panasnya seperti menerjang membentur hawa dingin kaki Gunung Slamet itu.

Kini di depanku, seorang perempuan ramping dengan balutan baju seksi dan rok mini duduk menyilangkan kaki kanan di atas paha kaki kirinya. Kira-kira, berjarak satu depa dari kursi yang aku tempati. Warna kuning langsat melapisi kulitnya. Gincu merah pada bibirnya dimain-mainkan.

Ah, dia mulai menggoda. Itu dugaanku.

Sesekali aku menahan air liur untuk tidak tertelan. Walaupun remang, tapi bunyi rongga kerongkong bisa membuatku malu. Aku jaga ketenanganku dengan menghirup udara pelan dan dalam. Aroma parfum terasa menyengat sampai menembus otak bagian bawah. Dan aku pun merasakan sebagaimana laki-laki yang bertarung dalam dirinya saat bertemu perempuan molek.

Imajinasinya berkembang liar tak terbatas. Aku bangga dalam ketegangan ini. Setidaknya sudah menggugurkan tuduhan temanku. Gugur demi fakta. Bahwa aku ini laki-laki sejati. Normal.

Nency, perempuan itu memperkenalkan namanya. Aku tidak perlu bertanya, itu nama asli atau bukan. Ia punya hak memasarkan dirinya dengan nama apapun. Yang penting menarik bagi telinga laki-laki. Kami berbincang melewati sepuluh menit. Sampai aku dan dia sepakat dengan uang yang harus diberikan padanya.

“Kita langsung mulai saja, Om!”

“Maaf, tidak”, jawabku. “Aku tidak mau melakukan apa-apa terhadapmu.”

Tampaknya ia mendengar sebuah jawaban yang tidak biasa. Jawaban aneh dari laki-laki yang mendatangi di jam kerjanya. Mungkin baginya, aku tengah bergurau.

“Aku serius. Tak ada niat secuil pun untuk melampiaskan gemuruh kejantananku denganmu.”

"Aku nggak berniat ngencuk sama kamu!" Sengaja aku gunakan istilah ngencuk, yang biasa dipakai Sudjiwo Tedjo saat sedang ngetwit. Biar terlihat, aku ini gaul. Terbiasa berkelana di dunia maya.

Tampaknya ia tak yakin dengan kalimat yang baru aku lontarkan. Ia berdiri dan menggandeng tanganku. Menarik dengan manja dan membenturkan dengan lembut ke tubuhnya. Sebuah gerakan yang sering membuat pertahanan laki-laki berantakan.

Aku pun mulai salah tingkah. Ini pengalaman pertamaku berhadapan dengan perempuan perayu. Kekhawatiranku menggelembung. Nafas pun mulai tersengal sengal.

Bergegas, tangan kananku mengambil dua lembar ratusan ribu di saku kiri jeansku. Dan aku lempar ke atas tempat tidur. “Aku mau pergi saja. Lepaskan!”

Aku kuatkan keberanianku melepaskan diri dari pegangan perempuan itu. Dengan satu gerakan tangan memutar ke bawah, akhirnya kami terlepas. Secepat mungkin aku raih handel pintu. Kubuka pintu sekenanya hingga aku keluar dari kamar itu meninggalkan perempuan yang terlihat tak menyangka kedatangan tamu seorang laki-laki pengecut. Atau mungkin baginya, aku ini penakut. Bahkan tidak layak menyandang gelar si hidung belang.

Beberapa orang memandangku saat keluar kamar, dengan pandangan curiga. Aku paksakan mempercepat langkahku meluju keluar penginapan itu. Menghampiri tukang ojek yang tengah berdiri di tepian jalan.

* * *
Hempasan angin malam mendamaikan pikiran dan perasaanku. Di atas aspal hotmix,  sepanjang perjalanan yang menurun lebih dari delapan kilomeneter menuju kota, di atas boncengan roda dua itu, aku tercengang pada diriku. Tak mengira menjadi lelaki jomblo yang baru belajar berpetualang di rimba malam. Menembus lembah nista, menghampiri si kupu malam.

Aku sebenarnya merasa berdosa dengan cara ini. Tetapi kenakalan laki-laki sering mengabaikannya.

Aku gembira masih bisa menahan godaan: godaan setan. Yang sebenarnya setan itu diriku sendiri.

Aku masih bisa menghargai kejombloanku tanpa harus menanggung dosa besar. Tapi aku berharap, malaikat mencatat ini sebagai dosa kecil saja.  Anggap saja insiden, walau  terencana. Aku mencoba bercanda dengan diri sendiri.

Selanjutnya, cukup di sini. Sekali ini saja aku menggoda diri sendiri masuk ke dalam pembuktian kelelakianku. Karena tanpa itu pun, aku tetap laki-laki. (***)

 

 

_________Bumi Cahyana, 15 Februari 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun