“Mas, nanti Pak Kiswan yang mengantar ke sana!” Aku hanya mengiyakan lirih sambil memberi senyum mendengar nama Pak Kiswan itu. Nama yang sama dengan pensiunan Mantri Kesehatan, tukang suntik di kampungku.
* * *
Seperti ada dua kekuatan yang tengah bertarung. Jaket yang kukenakan tidak mampu membendung hawa dingin pegunungan Baturraden. Aku setengah menggigil. Tapi aliran darah di dalam tubuhku terasa mendidih. Uap panasnya seperti menerjang membentur hawa dingin kaki Gunung Slamet itu.
Kini di depanku, seorang perempuan ramping dengan balutan baju seksi dan rok mini duduk menyilangkan kaki kanan di atas paha kaki kirinya. Kira-kira, berjarak satu depa dari kursi yang aku tempati. Warna kuning langsat melapisi kulitnya. Gincu merah pada bibirnya dimain-mainkan.
Ah, dia mulai menggoda. Itu dugaanku.
Sesekali aku menahan air liur untuk tidak tertelan. Walaupun remang, tapi bunyi rongga kerongkong bisa membuatku malu. Aku jaga ketenanganku dengan menghirup udara pelan dan dalam. Aroma parfum terasa menyengat sampai menembus otak bagian bawah. Dan aku pun merasakan sebagaimana laki-laki yang bertarung dalam dirinya saat bertemu perempuan molek.
Imajinasinya berkembang liar tak terbatas. Aku bangga dalam ketegangan ini. Setidaknya sudah menggugurkan tuduhan temanku. Gugur demi fakta. Bahwa aku ini laki-laki sejati. Normal.
Nency, perempuan itu memperkenalkan namanya. Aku tidak perlu bertanya, itu nama asli atau bukan. Ia punya hak memasarkan dirinya dengan nama apapun. Yang penting menarik bagi telinga laki-laki. Kami berbincang melewati sepuluh menit. Sampai aku dan dia sepakat dengan uang yang harus diberikan padanya.
“Kita langsung mulai saja, Om!”
“Maaf, tidak”, jawabku. “Aku tidak mau melakukan apa-apa terhadapmu.”
Tampaknya ia mendengar sebuah jawaban yang tidak biasa. Jawaban aneh dari laki-laki yang mendatangi di jam kerjanya. Mungkin baginya, aku tengah bergurau.