Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tulang Istriku

22 Januari 2016   17:20 Diperbarui: 23 Januari 2016   00:30 1472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mendengar teriakan seperti itu setiap hari. Sampai akhirnya, entah siapa yang memelopori, suatu malam rumahku dilempari batu. Genting-genting pecah berjatuhan. “Prang! Suara kaca jendela depan pecah. Aku menjadi bulan-bulanan sekelompok orang. Entah berapa jumlahnya.

Aku panik.  Sembunyi di kolong tempat tidur sembari mendekap tulang belulang itu. Jikalau sampai membakar rumahku dan aku mati, aku ingin mati saat memeluknya, pikirku waktu itu.

Mereda. Mereka kemudian pergi sebelum rumahku remuk tanpa bentuk.

Dan pagi sebelum kokok ayam jantan berbunyi, aku bersiap-siap. Dingin menggigilkan tengkuk. Embun mengaburkan jarak pandang. Aku bergegas pergi dari rumah. Aku sangat berharap, tak satu pun warga yang tahu. Maka, aku telusuri jalan setapak pinggir kampung. Menyeberang sungai. Melewati pematang sawah. Di punggungku, tulang istriku terkumpul dalam sebuah tas ransel besar , lusuh dan apek. Itu yang aku punya. Di tangan kanan, sebuah tas berisi pakaian tertenteng.

Keputusanku, aku harus segera pergi sebelum orang-orang makin ganas bersikap terhadapku.

***
Aku hubungi seorang kenalan. Dia mandor. Karena dialah, aku bisa dimasukkan sebagai pekerja di proyek yang tengah digarapnya. Sebuah bangunan untuk kantor bertingkat. “Kamu tinggal bareng sama aku saja, di kontrakan.” Tawaran yang tidak aku duga.

Satu yang bisa aku lakukan hanyalah bekerja di proyek bangunan. Menjadi tenaga kasar adalah pilihan yang pasti bisa aku lakukan di Jakarta. Setidaknya, berbekal pengalaman beberapa tahun di berbagai proyek sewaktu bujangan, menjadikanku punya keberanian. Dan Jakarta adalah satu-satunya pilihan.

Tak terasa, lebih dari tiga bulan tinggal di Jakarta. Itu yang bisa aku ingat semenjak keluar dari desa.

Dan lantaran  sering bertemu, juga lama bercakap-cakap, membuatku akrab dengan seorang pemilik warung nasi langgananku. Mungkin karena daerah asalnya sama, satu kabupaten, rasa persaudaraan itu muncul. Tempatnya tak lebih sepuluh menit berjalan kaki dari kontrakan.

Maka aku katakan padanya, aku ingin menitipkan sesuatu di tempat ini. “Yang penting bukan bom,” candanya menjawab.

Tas itu hendak aku titipkan, tidak saja karena kontrakan yang sempit, tapi ada rasa was-was jika sewaktu-waktu temanku itu tahu. Aku mencoba bersiasat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun