“Wah, kenapa membandingannya dengan Palestina.” Tampaknya Pak Hendro kurang sreg.
Pak Juki mengambil alih kemudi bicara. Katanya, jangan-jangan, kalau kita bilang Kita Tidak Takut, para teroris jadi tergila-gila menakut-nakuti kita. Itu yang dia khawatirkan. Pikirnya, mereka menjadi tersinggung, kemudian membuat aksi balasan yang besar, supaya kita benar-benar takut.
“Pak Juki pesimis juga, ya?” potong Pak Hendro.
Pak RT merangsak mengeluarkan pendapat. “Bagaimanapun kita harus mawas diri. Orang-orang kita gampang lupa. Saat seperti ini ramai-ramai bilang Kita Tidak Takut. Nanti lupa. Ingat kan kemarin-kemarin. Kita berusaha melawan korupsi. Tapi nyatanya, ada juga koruptor yang dipilih jadi anggota legislatif, jadi calon bupati, calon walikota. Lah, bagaimana ini.”
Ia menyelakan batang rokok di bibirnya. Menghisap dengan pelan dan mengeluarkan asap dengan cepat. “Nah, saya khawatir, itu hanya reaksi sesaat. Padahal urusannya lebih dari itu. Misalnya menghadang paham sesat ataupun radikal. Nah, kita seperti tidak fokus ke situ. Malah yang ramai, para perempuan bicara tentang polisi ganteng. Repot dong kalau begini.”
“Kok, Pak RT tahu?” Pak Rangkuti menonjokan pertanyaan.
“Istri saya yang kasih cerita!”
“Ha….ha….ha….ha!” Semua yang berada di warung itu tetawa. Tak terkecuali Mang Jupri yang duduk di terpisah dari kelompok itu.
Segelas kopi akhirnya menyisakan ampas yang mengendap tak bergerak. Sepiring pisang goreng kapok menyisakan runtuk di piring. Dan, malam pun memadatkan diri dengan kepekatannya. Tampaknya, situasi lingkungan sudah longgar. Sebagian besar warga sudah berada di huniannya masing-masing.
“Kita akhiri saja. Sudah malam. Saya sudah dapat SMS dari istri. Bahaya kalau sudah begini,” ujar Pak RT dengan nada datar.
Beberapa saat yang lalu, Bu RT sudah kirim SMS. Suaminya membaca di saat orang lain bicara: Sudah malam, pulang. Kalau bandel nggak dikasih jatah!