Mang Jupri menghampiri meja, meletakkan satu demi satu gelas kopi ke hadapan mereka. Aroma kopi tubruk menelusup ke semua hidung para pengunjung warung. Sebuah sensasi tersendiri bagi penggila kopi.
“Jangan khawatir. Urusan warung biar saya yang bayar. Jangan pakai dana operasional RT.” Ujar Pak Ketua bercanda sembari melirik Pak Joni, bendahara RT.
“Silakan, Pak Hendro. Lanjutkan saja ceritanya.” Lagi, suara Pak RT.
“Begini Bapak-bapak. Melihat suasana di tempat kejadian, menurut saya, seperti tengah melihat kerumunan orang-orang yang tengah menyaksikan pembuatan film perang kota. Semua antusias. Mereka tampak gembira, jagoannya menang. Ya, para polisi itu, maksudnya! Jadi seperti tidak merasa... baru saja terjadi peristiwa yang mengerikan, menggegerkan ibukota.”
Semua terkesima. Asap rokok makin padat. Di pojok warung, kipas angin berputar terseok-seok, seperti tengah menuju kematiannya.
“Apa karena itu, kita lantas harus berkumpul di sini, Pak RT?” Pak Juki bertanya.
“Ya, kurang lebih begitu.”
“Kok, kurang lebih?”
“Karena hidup ini penuh dengan ketidakpastian, Pak Juki.” Pak RT mengunci pertanyaan Pak Juki.
Oleh karena itu, saya melihat reaksi masyarakat terhadap aksi teror itu seperti menjungkirbalikkan tujuan yang ingin diciptakan. Mereka ingin membuat takut kita. Hasilnya malah terbalik. Ini kan luar biasa. Mengagumkan. Pak Bambang mulai menunjukkan suaranya, setelah dari tadi berdiam.
“Apakah lantas itu yang membuat orang-orang berucap Kita Tidak Takut terhadapa terorisme?” tanya Pak Juki.