Sejenak Aiman menatap cicak-cicak yang terpaku. Ia tersenyum. Di tepi dipan yang didudukinya, ia meletakkan sajadah yang telah kembali dilipat.
“Terus, kemarin ibu milih siapa?”
“Ya, pilih nomor satu itu. Sudah dikasih sajadah, kan nggak enak. Banyak yang bilang, suaranya dapat banyak. Dia yang menang.”
Undangan itu datang dari sebuah keluarga besar di kampung, yang satu kerabat meraka menjadi calon wakil bupati. Seorang perempuan. Bapaknya pernah menjabat Bupati dua periode berurutan semenjak awal sistem pilkada langsung.
“Kamu bawa sajadah itu ke Jakarta, Aiman,” berkata ibu itu. “Untuk keperluanmu sholat. Itu sajadah bagus. Lihat saja warnanya. Kainnya juga halus, lembut.”
Aiman menghela nafas. “Untuk keperluan ibu saja di sini. Jika belum mau dipakai, disimpan saja dulu.”
Wajah perempuan tua itu menjadi datar. Kemudian beranjak keluar kamar. Aiman menyentuh sajadah itu lagi. Ia berdiri. Melangkah ke arah pintu dan berhenti di ruang tengah. Televisi tengah menyala tanpa pemirsa. Ia duduk, mengambil remote control dan menekan tombol off. Ia rindu dengan malam yang sepi. Malam suasana kampung yang pernah ia nikmati semasa kecil. Damai.
Dari ruang belakang, dengan membawa segelas besar teh hangat, perempuan itu menghampiri tempat duduk menemani anaknya. Ia membuka tutup gelas. Uapnya terlihat membumbung, memberi sedikit kehangatan pada malam yang tengah dijatuhi hujan.
“Aiman. Kenapa ibu ingin kamu membawa sajadah itu.” Ia membuka percakapan lagi. Ditatap wajah anak bungsunya dengan mata teduh, sedikit syahdu.
“Itu semata karena ibu punya harapan, siapa tahu kelak dari rumah ini... Dari kampung ini pula, ada yang jadi bupati. Wakil bupati juga nggak apa-apa.”
Aiman terkesiap. Tak menduga ibunya berpikir sesuatu yang ia sendiri tidak memikirkannya.