Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah Coklat Tua

21 Desember 2015   17:18 Diperbarui: 21 Desember 2015   17:18 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejenak Aiman menatap cicak-cicak yang terpaku. Ia tersenyum. Di tepi dipan yang didudukinya, ia meletakkan sajadah yang telah kembali dilipat.

“Terus, kemarin ibu milih siapa?”

“Ya, pilih nomor satu itu. Sudah dikasih sajadah, kan nggak enak. Banyak yang bilang, suaranya dapat banyak. Dia yang menang.”

Undangan itu datang dari sebuah keluarga besar di kampung, yang satu kerabat meraka menjadi calon wakil bupati. Seorang perempuan.  Bapaknya pernah menjabat Bupati dua periode berurutan semenjak awal sistem pilkada langsung.

“Kamu bawa sajadah itu ke Jakarta, Aiman,” berkata  ibu itu. “Untuk keperluanmu sholat. Itu sajadah bagus. Lihat saja warnanya. Kainnya juga halus, lembut.”

Aiman menghela nafas. “Untuk keperluan ibu saja di sini. Jika belum mau dipakai, disimpan saja dulu.”

Wajah perempuan tua itu menjadi datar. Kemudian beranjak keluar kamar. Aiman menyentuh sajadah itu lagi. Ia berdiri. Melangkah ke arah pintu dan berhenti di ruang tengah. Televisi tengah menyala tanpa pemirsa. Ia duduk, mengambil remote control dan menekan tombol off. Ia rindu dengan malam yang sepi.  Malam suasana kampung yang pernah ia nikmati semasa kecilDamai.

Dari ruang belakang, dengan membawa segelas besar teh hangat, perempuan itu menghampiri tempat duduk menemani anaknya. Ia membuka tutup gelas. Uapnya terlihat membumbung, memberi sedikit kehangatan pada malam yang tengah dijatuhi hujan.

“Aiman. Kenapa ibu ingin kamu membawa sajadah itu.” Ia membuka percakapan lagi. Ditatap wajah anak bungsunya dengan mata teduh, sedikit syahdu.

“Itu semata karena ibu punya harapan, siapa tahu kelak dari rumah ini... Dari kampung ini pula, ada yang jadi bupati. Wakil bupati juga nggak apa-apa.”

Aiman terkesiap. Tak menduga ibunya berpikir sesuatu yang ia sendiri tidak memikirkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun