Suamiku kuanggap aneh saat seminggu setelah pernikahan, dulu itu. Masuk kamar langsung membisikkan kalimat,”Siapkan mendoan untuk kita malam ini.”
“Mendoan?” tanyaku heran.
“Iya, mendoan. Kamu pasti bisa bikin mendoan, kan.”
Mencoba membahagiakan suami. Aku bergegas ke dapur, mengolah bumbu, mencampurkannya dengan tepung beras dan sedikit terigu. Tidak ketinggalan menambahi irisan daun bawang: untuk memberi aroma dan pernik hijau pada adonan itu. “Sreng… sreng….sreng…..” Suara kolaborasi tempe tipis nan lebar berlumur adonan berbumbu yang dicelup ke dalam minyak panas di wajan.
Malam itu akhirnya jadi malam mengesankan bagi kami, makan mendoan di atas ranjang. Dan, setelah itu, suamiku mengajak bercinta untuk kali pertama.
Aku pikir, ia minta mendoan karena ingin saja pada saat itu. Ternyata tak begitu. Ini menjadi seperti sebuah seremonial sebelum kami bercinta. “Bikin mendoan dulu,” pintanya.
Karena selalu demikian, akhirnya sebagai istri, aku hafal. Maka aku tanya sebelum masuk kamar,”Apa perlu bikin mendoan?”
Yang paling aku tidak mengerti, ia selalu menjawa: Ya, terhadap pertanyaanku tadi. Kenapa di otaknya hanya ada satu kata “mendoan” sebelum tidur, pikirku.
Tapi sekali waktu aku menjawab berbeda,”Aku nggak mau bikin.”
Ia tanya,“Kenapa?”
Aku punya alasan,” Aku lagi datang bulan.”
Tapi dia bersikeras meminta mendoan. Ia bilang, dirinya juga lagi tak bergairah. Jadi tak berpikir ke arah itu, ujarnya. Tapi, kendati sudah mendengar alasanku, ia tetap ingin makan mendoan buatanku. Sebagai istri yang ingin berbakti pada suami, aku turuti.
Sebenarnya, di dalam hati aku mengharap jawaban seperti ini,”Oh, istriku. Baiklah kalau sedang halangan. Aku akan keluar rumah sebentar, membeli martabak. Kamu mau martabak kan? Manis atau telor. Apa dua-duanya?”
Terlalu. Suamiku tak bisa membaca pikiranku. Timbul pertanyaan,”Apakah lelaki memang egois?”
***
Beberapa ibu di lingkungan RT yang kerap datang ke rumahku selalu aku suguhi mendoan. Ini makanan khas masyarakat Banyumas. Jika ada perempuan Banyumas yang tidak bisa membuat mendoan, sungguh, mereka diragukan kebanyumasannya. Ini kasak-kusuk yang sering mampir ke telingaku.
Maka dari itu, untuk membuktkan kebanyumasanku, aku sering membuat mendoan untuk para tamu. “Enak Jeng. Boleh minta untuk yang di rumah,” Bu RT pernah bicara begitu. Aku bangga dipuji, dan tidak ada salahnya berbagi makanan. Bukankah tangan di atas lebih mulia?
Dari bibir Bu RT ini, rasa mendoanku mulai dikenal di kalangan RT, termasuk oleh para Bapak. Walhasil, bapak-bapak minta pada istrinya untuk dibuatkan mendoan. Saat arisan akhir pekan, pada suatu bulan, ibu RT meminta aku untuk demo bikin mendoan.
“Lo, kan mudah sekali, ibu-ibu?” Kataku di hadapan mereka.
“Sudah aku coba, Jeng. Tapi Bapak bilang, belum pas di lidah,” jelas Bu RT.
Pada saat yang telah disepakati, ibu-ibu satu RT mengadakan latihan membuat mendoan. Akulah trainnernya. Duh, bangganya. Hasilnya mengagumkan. Dan sekarang, semua sudah memiliki resep yang top markotop untuk membuat suami memujinya.
Tanpa dinyana, suamiku sering berkunjung ke banyak tetangga. Suguhannya mendoan. Dari ujung barat ke timur. Dari belahan utara sampai selatan. Tidak ada yang beda. Semua yang ada di meja tamu berupa piring yang terisi mendoan. Rasanya sama. Setidaknya nyaris sama, kata suamiku berkisah pada suatu sore yang senjanya tidak terlalu memerah.
Seiring waktu, terjadilah perubahan perilaku suamiku. Dia sudah tidak lagi memintaku untuk membuat mendoan menjelang tidur. Yang aku sebut: sepiring mendoan di atas ranjang. Sebenarnya aku senang, ini meringankan tugasku sebagai istri. Tidak direpotkan. Masak sih, beranjak ke tempat tidur mesti makan mendoan bersama.
Namun sayang, semenjak itu suamiku mulai jarang mengajakku bercinta. Sungguh aneh. Apalagi jika aku yang meminta, selalu saja ada alasan. Misalnya: besok mau berangkat kantor gasik atau apa nggak ada urusan lain, dan seterusnya. Ah, ia tak semenggebu dulu lagi.
Aku mulai curiga padanya. Ada apa dibalik semua ini. Aku tanya padanya baik-baik. “Kenapa aku sebagai istri sudah mulai diabakan?”
Dan dia terus terang. “Mendoanmu hambar. Tidak seistimewa dulu.”
Aku gelagapan dengan jawabannya. “Mendoanmu tak ada bedanya dengan buatan ibu-ibu di RT sini,” lanjutnya.
Suamiku memang tidak tahu, bahwasannya akulah yang mengajari mereka cara membuat mendoan yang baik dan benar. Yang enak dan membikin ketagihan.
“Karena rasa mendoanmu yang berubah menjadi hambar, rasa bercintaku pun kena imbasnya,” kilah suamiku dengan nada pilu.
Apa boleh buat, aku akhirnya terus terang kepadanya bahwa akulah yang membuat ibu-ibu di sini menjadi pintar membuat mendoan. Ia tersentak. Wajahnya memerah. Matanya menyorot tajam kepadaku. Entah karena aku kaget dengan reaksinya, aku seolah melihat ada dua cula menonjol di atas kepalanya.
“Kenapa kau bagikan rahasiamu. Itu hak paten yang diperuntukkan untuk suamimu. Sesuatu yang eksklusif. Aku kasih tahu ya…. Para Bapak di RT sini cerita kepadaku, betapa gairah cinta pada istrinya begitu menggebu setelah makan mendoan yang dibuat istri mereka. Sedangkan mereka tak bercerita bahwa kamulah yang mengajari. Jadi, resepmu itu punya daya magis yang luar biasa.”
“Bagus dong kalau begitu,” aku berucap membela diri.
“Bagus bagaimana. Justru karena itu, resep mendoanmu menjadi 'generik' untukku. Aku yang kena dampaknya. Tahu!”
Aku tak menyangka akan sejauh ini. Hanya urusan mendoan sudah melimbungkan harmoni rumah tangga.
“Tapi niatku kan baik pada mereka. Bagi ibu-ibu itu.”
“Baik bagaimana maksudmu?”
“Ya, baik dong. Membagi ilmu 'kan baik. Apalagi jelas ada manfaatnya. Kita dapat pahala yang tiada putus walau kita sudah mati. Betapa senangnya punya istri seperti aku. Masak nggak mengerti urusan seperti ini.”
“Aku bukannya tidak mengerti!” Ia tampak geram. “Tapi pikirkan, mana yang lebih didahulukan, membagi ilmu atau membahagiakan suami. Justru karena kamu membagi ilmu, akhirnya aku yang dikorbankan. Bayangkan!”
Sekali ini aku tertegun. Terdiam kaku. Belum bisa memberi jawaban yang membuatnya memahami sudut pandangku. Tapi aku pun merasa kasihan, dengan kenyataan yang kini dihadapi suamiku yang gairah bercintanya mengambang. Aku cemas, jika suatu hari malah menghilang. Atau lebih tragis, dia tergoda perempuan di luar sana.
Aku mulai berpikir memecahkan situasi ini. Dengan berat hati, aku minta izin pulang dua hari ke kampung. Suamiku menyetujui, tanpa banyak pertanyaan,”Salam buat Bapak ibu.”
Setelah sampai di kampung, aku “ngeluyur” bersepeda. Aku cari warung mendoan yang paling enak, paling laris dan paling terkenal. Semua masih ingat aku, ini benar-benar menguntungkan. Sampai akhirnya aku menemukan resep membuat mendoan yang sangat super istimewa.
Tanpa banyak cerita kepada penghuni rumah di kampung, resep itu aku praktekan. Akulah orang yang pertama merasakan resep ini. “Eureka!” batinku.
Seisi rumah mencicipi. Aku pandangi reaksinya. Semua menampakkan perubahan yang sangat signifikan. Gairah hidup menyala. Yang tadi tiduran, sekarang mengambil sapu membersihkan rumah. Yang mengeluh dingin, seketika mengambil handuk menuju kamar mandi. Keponakanku yang tengah mengantuk, matanya melebar, ia ambil buku dan membaca, katanya besok mau Ulangan akhir Semester. Semua terjadi setelah makan mendoan resep terbaru.
Sampailah aku kembali berkumpul dengan suami.
Malam berselimut sunyi. Aku menuju dapur dan mempersiapkan segala sesuatunya. “Membuat mendoan,” jawabku pada suamiku saat dia bertanya dari kejauhan. “Mau bikin apa?”
Sepiring mendoan aku bawa ke kamar. Seperti biasa, ditaruh di atas ranjang. Suamiku masih enggan. Masih “aras-arasan” mengambil. Aku memilih memulai makan. “Ayo dong, jangan cuma aku yang makan. Kita sepiring berdua. Tidakkah kamu rindu suasana yang seperti ini?
Akhirnya ia berkenan mengambil satu. Memakan habis. Mengambil satu lagi dan habis. Ia mulai menampakkan perubahan. Kepalanya manggut-manggut. “Luar biasa, enak banget. Suwer!”
Aku hanya memandanginya sembari tersenyum. Aku sudah berkomitmen dengan si pemberi resep mendoan itu, untuk tidak membocorkan kepada siapapun, termasuk suamiku sekalipun. Maka dalam cerita ini, aku mohon maaf, aku tidak juga akan menceritakan rahasia resep itu. Menjaga komitmen adalah sesuatu yang berharga, jika ingin dihargai. Itu prinsip sederhanaku.
Mmm, yang ditunggu terbukti. Suamiku langsung mengajak bercinta. Gairahnya sudah membumbung sampai ke langit-langit kamar. Apa mau dikata, malam itu menjadi penuh debaran. Diriku seperti menjadi “korban” oleh suamiku sendiri. Aku laksana perahu yang terombang-ambing oleh gelombang tsunami.
Setelah itu. “Zzzzzzzzzt……….zzzzzzt…….zzzzzzzt…..” Suamiku tertidur pulas.
Aku tergelak. Hatiku berbingar-bingar, merasakan kembalinya nuansa cinta sebagai sepasang suami istri.
*) Sumber Gambar: kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H