“Tapi niatku kan baik pada mereka. Bagi ibu-ibu itu.”
“Baik bagaimana maksudmu?”
“Ya, baik dong. Membagi ilmu 'kan baik. Apalagi jelas ada manfaatnya. Kita dapat pahala yang tiada putus walau kita sudah mati. Betapa senangnya punya istri seperti aku. Masak nggak mengerti urusan seperti ini.”
“Aku bukannya tidak mengerti!” Ia tampak geram. “Tapi pikirkan, mana yang lebih didahulukan, membagi ilmu atau membahagiakan suami. Justru karena kamu membagi ilmu, akhirnya aku yang dikorbankan. Bayangkan!”
Sekali ini aku tertegun. Terdiam kaku. Belum bisa memberi jawaban yang membuatnya memahami sudut pandangku. Tapi aku pun merasa kasihan, dengan kenyataan yang kini dihadapi suamiku yang gairah bercintanya mengambang. Aku cemas, jika suatu hari malah menghilang. Atau lebih tragis, dia tergoda perempuan di luar sana.
Aku mulai berpikir memecahkan situasi ini. Dengan berat hati, aku minta izin pulang dua hari ke kampung. Suamiku menyetujui, tanpa banyak pertanyaan,”Salam buat Bapak ibu.”
Setelah sampai di kampung, aku “ngeluyur” bersepeda. Aku cari warung mendoan yang paling enak, paling laris dan paling terkenal. Semua masih ingat aku, ini benar-benar menguntungkan. Sampai akhirnya aku menemukan resep membuat mendoan yang sangat super istimewa.
Tanpa banyak cerita kepada penghuni rumah di kampung, resep itu aku praktekan. Akulah orang yang pertama merasakan resep ini. “Eureka!” batinku.
Seisi rumah mencicipi. Aku pandangi reaksinya. Semua menampakkan perubahan yang sangat signifikan. Gairah hidup menyala. Yang tadi tiduran, sekarang mengambil sapu membersihkan rumah. Yang mengeluh dingin, seketika mengambil handuk menuju kamar mandi. Keponakanku yang tengah mengantuk, matanya melebar, ia ambil buku dan membaca, katanya besok mau Ulangan akhir Semester. Semua terjadi setelah makan mendoan resep terbaru.
Sampailah aku kembali berkumpul dengan suami.
Malam berselimut sunyi. Aku menuju dapur dan mempersiapkan segala sesuatunya. “Membuat mendoan,” jawabku pada suamiku saat dia bertanya dari kejauhan. “Mau bikin apa?”