Sekarang tinggal kami berdua. Di ruang tiga kali tiga meter itu. Sepi. Dan aku menyadari, biasanya di antara dua insan berlain jenis, ketiganya setan.
Sejenak aku membantu Minatun menutup kedai. Ini cara lihai laki-laki mengambil hati perempuan. Kiat yang sering tidak dibaca: ada udang dibalik batu. Dan, hanya pintu masuk yang sengaja dibiarkan separuh terbuka.
Di bangku panjang tanpa sandaran, kami duduk berjajar. Ada sedikit canggung memulai perkataan. Dadaku berdebar-debar. Kedua jemariku bergerak-gerak tak jelas apa maunya. Aku merasa gagap dengan situasi yang tengah melanda.
Kutatap wajah Mina. Ia hanya tersenyum. Sesekali menunduk. Mungkin agak canggung juga padaku. Berdekatan dengan lelaki yang wajahnya 11-12 mirip dengan artis Richie Richardo. Penyanyi kesayangan Minatun.
“Mina….”
“Iya Mas....”
Kemudian terhenti. Kami berdua cuma berpandangan lagi. Tak tahu harus berbuat apa dalam kegentingan waktu untuk segera menutup kedai secara definitif, sore itu. Sebagaimana perintah Bu Juminten tadi.
Tiba-tiba tangan kirikuku merengkuh bahu Mina. Ia tersentak dan agak risih. Wajahnya tampak seperti air laut tersibak angin. Aku sedikit menahan agar tidak lepas. Kami bergoyang ke kanan kiri seperti naik angkutan umum melewati jalan berlubang-lubang. Kami jadi geli sendiri. Dan, tanpa aku nyana, tangan kanan Minatun ditambatkan pada bahuku.
Aku terpana. Dia terkesima.
Tidak ada lagi kata yang terucap. Hanya dekapan lembut menghujam. Menekan dada Minatun, yang membuatnya berhenti bernafas beberapa detik. Tapi kemudian, ia seperti mendorongku ke belakang. Ah, bukan, batinku. Ia menekan dadaku dua kali besaran tekanan yang aku berikan tadi. Bahkan mungkin lebih dari itu.
Akhirnya aku tahu. Begitulah cinta. Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Hanya dengan bahasa tubuh yang tersalur lewat sentuhan lembut dada-dada kami, aku berucap,” Terimalah aku, Mina.” Dan dijawablah dengan bahasa tubuhnya,”Kuterima dengan sepenuh jiwa. Bersegeralah melamarku.”
Tapi kami berdua terperanjat. Degup jantung mengeras bersautan antara aku dan Mina. Kami gelagapan yang secara reflek hendak sembunyi di bawah meja. Suara dari kejauhan menyadarkan kami yang sedikit melakukan kekhilafan.
“Tun... Atun... Kenapa belum kamu tutup juga!” Suara Bu Juminten.