Aku mendekat padanya. “Pantes beda dengan bikinan si Mina.”
Lambat laun, kedai kopi itu bukan saja mempesona karena seduhan kopi Bu Juminten. Atun: Minatun. Si Mina itu sedikit tapi pasti sudah seringkali datang dalam berbagai sempalan waktuku. Saat hendak makan,mandi, cuci baju. Bahkan saat naik motor. Apalagi cuci motor.
Aku suka mengibas-ibaskan kepala, biar bayangan Mina itu rontok dan kemudian hilang dari kepalaku. Tapi aku heran. Semakin kepala sering digoyang, bayangannya makin menempatkan diri pada sisi-sisi kepalaku. Ia menempel kuat. Rona wajah lonjong gadis itupun tergambar semakin tajam.
Bukan itu saja, kini ia bisa mengalahkan poster besar artis Betharia Sonata yang terpajang pada dinding kamar kontrakanku. Sekali waktu aku menemukan poster itu berjelaga. Betharia Sonata berderai air mata, ia merasa mulai terabaikan. Sungguh aku tak mengira, dia peka sekali. Ternyata ada kecemburuan.
***
“Untuk orang seperti Mas ”carles” harus beda cara penyajiannya, Tun”
“Kamu mesti lihat wajahnya saat datang. Perhatikan posisi duduknya. Intip senyumnya pada saat kamu menakar kopi dan gulanya,” Bu Juminten mengajari Minatun. Asistennya yang baru tiga bulan setengah mendampinginya.
“Bukan carles Bu. Tapi sales,” Atun berusaha membenarkan salah ucap perempuan tua itu. Kebanyakan para orang tua begitu, menyebut sales jadi carles. Mereka pasti terpengaruh dengan nama Charles: Pangeran Charles, mantan suami Lady Diana, perempuan yang selama sepuluh tahu lebih paling dikejar-kejar juru potret.
Carles yang dimaksud sales itu, ya aku ini. Sales barang-barang untuk Toko Bangunan.
Setidaknya aku jadi tahu sekarang. Setelah tiga minggu menghilang dari perjumpaan dengan kedua perempuan penghuni kedai itu, aku terperanjat. Seduhan kopi Mina sudah menandingi ‘bosnya’.
“Kalau sruputan pertama sambil merem lama, itu artinya pas. Mereka suka. Kamu harus menghafal bahasa tubuh mereka. Harus juga diingat kembali takaran tadi. Tidak gampang memang. Harus telaten mengurusi pelanggan,” Bu Juminten memberi ngelmu-nya.