Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kedai Kopi Asmara

4 Desember 2015   13:06 Diperbarui: 5 Desember 2015   16:30 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minatun mengangguk. Ia tak kalah ramah dengan Bu Juminten. Gadis berkulit kuning ini menebar senyum, yang membuat sedikit lesung pipinya terlihat.

“Silakan kopinya Mas, mangga,” Minatun menempatkan segelas kopi dengan tatakan putih bergambar dua bunga mawar pada tepinya.

Semua memanggilnya Atun, pada gadis itu. Tapi aku tak mau pakai nama itu. Nama Atun sudah punya image tersendiri: anak mBah Mangun, yang kondang jadi dukun. Maka aku menghindarinya. Menggunakan yang beda. Aku panggil dia Mina. Rasanya enak di hati, indah di telinga dan yang pasti nggak ndeso. Bagiku panggilan Atun itu ‘ndeso’. Menyebut Mina berarti menaikkan kelas, bau-bau kota.

“Terimakasih Mina,” dia mengganguk dan balik ke dapur.

Awalnya dia kagok dan cekikikan dipanggil Mina. “Aneh di kuping Mas,” ujarnya.

“Mina itu artinya ikan lo,” Bu Juminten urun bicara sambil melirik suaminya yang pas ada.

“Kalau begitu, biarlah dia menjadi ikan di hatiku.” Aku berkata sambil tertawa kecil. Demikian juga sepasang suami istri itu.

Tak lama sebuah ember kosong terpental, mengena dinding. Rupanya Minatun salah tingkah mendengar jawabanku. Ia lengah dan kakinya menendang benda itu.

Ternyata, segelas kopi seduhan Mina terasa berbeda dengan Bu Juminten. Kurang “gregel”, kurang nendang di tenggorokan, pikirku. Tapi aku tetap habiskan kopi itu. Menjaga perasaanya, biar tidak tersinggung. Mungkin karena terbiasa dilayani ‘bosnya’, jadi ada sugesti seperti itu. Tapi, itu pikiranku sesaat kemudian.

Pada waktu berikutnya, aku ke kedai itu lagi dan meminta Bu Juminten yang membuat. Aku nikmati dengan segenap ketajaman lidah pengecapku. “Beda. Beda banget.”

Sekali waktu kucoba lagi dengan meminta Minatun untuk melayaniku. Tetap, hasilnya sama dengan kali pertama aku dibuatkannya. Seduhan kopi Bu Juminten lebih berkelas. Aku tanya kepadanya: Sudah berapa lama buka kedai kopi ini.
“Dua puluh lima tahun, Mas.” Ia membenarkan krah kebayanya yang sedikit melintir. “Apa mau kasih modal tambahan?” Ia malah tanya sambel tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun