Kedai kopi itu telah jadi langganan bagiku. Hanya sore yang bisa aku korbankan waktuku untuk ke sana. Sekedar ngopi? Ya, untuk segelas kopi. Maka jika pada hari itu tenggorokkanku bergetar-getar, sulit menelan air liur, artinya aku harus mampir ke kedai. Ini hanya isyarat tubuh yang hanya aku sendiri yang tahu.
Pada sebuah persimpangan, kedai itu membuka senyum dari pagi hingga malam. Beberapa toko besar berjejer menemani. Diuntungkan oleh tepi jalan yang longgar, memudahkan berbagai kendaraan ditambatkan di situ. Dan kedai kopi itu jadi sasaran masuk mereka yang ingin sejenak beristirahat.
Aku masuk kedai, saat hujan turun pada suatu sore yang berkilat-kilat. ”Ngopi Mas?” Seorang perempuan paruh baya menyapa.
“Pahit, apa manis. Apa sedang-sedang saja?” Ia memberi senyum. Kata 'sedang-sedang saja' membuatku juga tersenyum. Ingat lagu ndangdut 90-an lantuman Vetty Vera.
“Yang terakhir saja,” Aku jawab, biar cepat. Walaupun belum tahu bagaimana rasanya, karena itu kali pertama aku masuk kedai kopi Bu Juminten. Aku kemudian tahu namanya, pemilik kedai itu.
“Oh, yang sedang-sedang saja.” Aku mengangguk.
Satu sruput dua sruput. Sampai akhirnya bersruput-sruput hingga setengah gelas. Pas. Pas takarannya, pas rasanya. Racikan Bu Jumenten ‘cucok’, memenuhi seleraku.
Sekali dua kali dan berlanjut berkali-kali, aku sudah mulai merasakan keajegan rasa setiap menikmati segelas kopi di kedai ini. Tegukkan pertama membuat mataku yang seperti dibebani bandul timbangan satu kilo langsung Pyar! Terang pandangan. Tubuh hangat dengan hati yang bergelora.
Segelas kopi adalah obat tanpa resep. Bu Juminten punya paten yang ces pleng. Sebuah konsistensi rasa, kata orang kini. Maka, sekali waktu aku kasih jempol ke Bu Juminten. Perempuan itu hanya membalas,”Ehem….ehem…”
Aku bisa membedakan, setelah memasuki ke kedai itu tak menjumpai Bu Juminten. Hanya ada Minatun yang menjaga.
“Kopi satu, yang sedang-sedang saja.”