Aman. Istriku pun melanjutkan ritual membersihkan diri. Dan, aku yakin, selama ia mandi, pandangannya lebih banyak ke atas. Ke lubang itu.
***
“Buang saja kucing itu!” Berkata istriku sambil membawa piring ke wastafel. Kami baru selesai makan siang.
“Buang? Kasihan dong Sayang. Sabarlah, namanya baru sehari dia di sini”
“Pokoknya buang. Tahu kan bedanya buang dengan simpan!”
Karena wanita ingin dimengerti, maka aku selalu berusaha untuk mengerti. Dia tidak mau bilang “bodoh” apalagi “goblok” ke suaminya. Itu sama juga menunjukkan dirinya sudah salah pilih.
Coba perhatikan perkataannya: Tahu kan bedanya buang dengan simpan.
Heh, Anak SD pasti tahulah. Apalagi manusia kuliahan. Makanya ia cocor dengan kalimat yang mengesankan aku ini tidak tanggap dengan permintaannya.
Membela kucing atau menyayangi istri. Bukan sesuatu yang dilematis. Tapi harus ada jalan tengah tanpa meninggalkan luka. Setidaknya sedikit saja. Itu pun jika terpaksa.
Beberapa hari aku berpikir. Solusi sudah aku dapat. Sampai akhirnya suara telepon terhubung ke HP-ku.
“Salamat siang. Apakah ini Pak Tugino?” Seseorang yang belum aku kenal menghubungiku
“Benar sekali. Ada yang bisa dibantu?”
“Begini. Sebagaimana iklan Bapak di Anu Post, saya berniat memelihara kucing itu. Begitu Pak”
“Wah, senang sekali. Terimakasih, terimakasih. Secepatnya ya, datangi rumah kami. Kucing sudah dikandang. Aman”
“Oke. Nanti malam bareng istri, kami akan ke alamat Bapak, terimakasih”
Dia hendak memutuskan pembicaraan.
“Sebentar. Sebentar Pak. Dengan bapak siapa ini ya?
Aku cepat-cepat bertanya, sebelum sambungan teleponnya benar-benar terputus.
“ Oh, maaf lupa. Panggil saja: Jati”
“Jati?” Aku mengucapkan nama itu sambil mengira-ira roman wajahnya. Semoga wajah penyayang bintang.