Sepertinya, dia mulai terhubur. Aku hanya tersenyum dengan pendapat istriku. Pasti dia baca komentar dari si Dosmand, si pujangga puisi itu. Orang yang arif, tapi sedikit jahil. Tapi menghibur.
Tapi biarlah, pikirku begitu. Beberapa waktu yang lalu ia sama sekali tak mau melihat kompasiana. Katanya: Muak dan risih.
Kok begitu? Ada apa.
Ia tunjuk yang ada di Tren Google Kompasiana. Tulisan Pak Dhe Kartono: "Menelan Tajin", terpajang lama di sana.
Sekarang, aku tak berani mengganggu istriku. Sensitif. Ya, gara-gara kucing semalam. Maka, saat dia membaca tulisanku saja, aku sudah senang. Aku yakin, dia diam-diam bangga punya suami yang bisa menulis. Apalagi diposting dan dibaca orang banyak. Mungkin lebih baik punya suami seperti itu, bisa menulis. Ketimbang bisa merokok. Dan itu syarat teratas saat aku mau melamarnya: Tidak Merokok.
Namun, pada pagi jelang siang.
“Haaa...., haaa....., haaaa.....!” Teriakan seperti semalam, kembali terdengar.
Istriku berteriak sambil berlari. Matanya jelalatan. Nafasnya tersengal-sengal. Dan aku mendekatinya dari arah ruang tengah.
“Ada apa sayang?”
“Itu” Dia menunjuk kamar mandi.
Dan aku menuju ke sana. “Mana?” Tanyaku
“Itu. Lihat ke atas!”
O,la la. Kucing jambon itu menjulurkan kepalanya pada plafon kamar mandi yang ternitnya berlubang karena tertimpa genting. Sudah hampir satu minggu aku biarkan begitu adanya.
“Kan sudan aku bilang: tutup! Tutup lubang itu!” istriku kesal kepada suaminya. Aku diam, merasa bersalah. Laki-laki harus begitu saat istri dalam pihak yang benar. Dan, anehnya selalu merasa benar. Maka, ada saatnya,diam bisa jadi permata.
Tampaknya, istriku masih beruntung. Ia sigap mengambil handuk lebarnya dan melilitkan pada tubuhnya, sebagaimana perempuan Jawa tempo dulu:“kembenan”. Tak terbayang kalau sampai lupa.
“Ah, kucing kok seperti manusia. Suka nakal” batinku
Kali ini aku harus kerja keras. Naik tangga dan bergerak di kolong atap rumah, menghalau kucing. Memastikan istriku mandi tanpa gangguan si Jambon mata genit. Dan mungkin, karena tahu diri dengan pertolonganku yang membawanya kemari, kucing itu bergegas turun setelah aku mendesis keras. “hes…..hes…hes…..”