Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Panggil Saja Pak Dhe

9 Oktober 2015   07:35 Diperbarui: 9 Oktober 2015   07:40 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Pak Dhe?”
“ Iya, panggil saja Pak Dhe” Saya jawab keraguan anak kecil itu untuk menyapa saya dengan sebutan Pak Dhe. Anak itu pun mengangguk. Mengerti. Dan berucap,”Terima kasih Pak Dhe”

Dan dia pergi mengontel lagi sepedanya, dengan sedikit menahan sakit.

Anak tadi baru saja saya tolong. Ia terjatuh dari sepeda saat ada kucing berlari menyeberang jalan mengejar temannya yang menggigit seekor tikus. Anak kecil itu kaget dan roboh dari sepeda. Dari dalam rumah kontrakan, saya melihatnya. Lantas bergegas menghampiri.

Semenjak itu. Setiap melintas depan kontrakan, dan melihat saya, dia bersuara keras. “Pak Dhe!”
Maka teman-teman sepermainan bersepeda bertanya,”Itu Pak Dhe-mu?”
Saya mendengar dari kejauhan pertanyaan itu. Tapi entahlah jawabannya. Mungkin malah kebingungan, tak tahu harus menjawab apa.

Maka mulailah saya dikenal oleh anak-anak. Sapanya selalu, Pak Dhe mau ke mana? Pak Dhe dari mana? Lambat laun satu komplek mengenal keberadaanku. Hanya karena sebutan: Pak Dhe.

Bagi saya, sebutan Pak Dhe itu nJawani. Enak dikuping. Dan menunjukkan sebuah proses kematangan sebagai manusia. Ini hanya anggapan saya semata, orang lain pun boleh beda pendapat.

Masih ingat kan dengan sosok “Pak Dhe” yang terkenal pada era 80-an? Nama pria itu Muhammad Siradjudin, orang tua yang konon menjadi penasehat spiritual kalangan selebriti. Kemudian dituduh sebagai pembunuh peragawati bernama Dietje Budimulyono, yang akhirnya dia dihukum seumur hidup lewat sebuah peradilan yang sangat kontroversi. Sejak itu, sebutan Pak Dhe Dietje sangat populer.

Jadi sebutan Pak Dhe itu memiliki nilai intrinsik. Bandingkan dengan sapaan Om apalagi Mbah. Om kesannya suka dengan tante genit. Mbah kesannya tua, dan dekat kematian. Saya sering bercanda seperti itu.

Saya senang, suasana kontrakan ceria, karena sering kedatangan anak-anak. Saya kehilangan kesepian, karena kesendirian. Bagi saya, itu menjadi sebuah hiburan. Saya sediakan ke mereka cemilan-cemilan yang renyah, mengasikkan dan menggoda selera. Terlebih aku pandai bercerita. Tampaknya itu menjadi daya tarik sendiri. Saya berpikir, orang tua mereka kurang dalam hal seperti ini.

Bercerita. Ya, benar bercerita tentang sebuah kisah. Orang jaman dulu menyebut: ndongeng. Mendongeng. Saya sendiri merasakan manfaat mendengarkan dongeng yang dituturkan ibu saya, sewaktu hendak tidur malam. Saya menggambarkan tokoh dengan karakter yang diceritakan. Saya bebas berimajinasi. Karena itulah, saya kemudian piawai untuk ukuran anak-anak, mendongeng ke teman-teman. Itu berkat dongengan yang saya simak hampir tiap malam. Akhirnya, saya terbiasa dengan hal itu.

Lambat laun, yang ABG pun mengenal saya. Bertegur sapa dan berbincang-bincang. Dari hal yang aktual sampai yang bikin sebal. Dari yang ringan hingga yang mesti mengerutkan dahi. Bisa saja saya menyampaikan ke mereka. Modalnya, banyak membaca jadi banyak pengetahuan. Mungkin karena mereka malas baca atau banyak habis waktu untuk bermain gadget, wawasan mereka terbatas. Saya paling sering bicara ke mereka tentang kejahatan yang bisa menimpa anak-anak, utamanya pedofilia.

Pedofilia? Mereka belum tahu pedofilia. Kata yang masih asing. Barangkali menjadi penanda, anak sekarang kurang suka menyimak berita. Beda dengan masa kecil saya, berita Koran, radio dan televisi begitu saya gemari.
Saya jelaskan ke mereka tentang kekerasan atau pelecehan seksual yang kerap menimpa anak-anak. Mereka merinding, tercengang mendengar cerita pedofilia.

“Sudahlah, kalian nggak perlu takut begitu. Yang penting kalian hati-hati, jangan mudah dibujuk rayu.” Saya memberi nasihat sebatas itu.

Lama, setelah diterima sebagai warga RT, saya sering mengikuti perkumpulan. Memberi saran dan ide tentang berbagai hal. Keberanian dan kemampuan saya mengeluarkan pendapat, membuka mata warga.
“Pak Dhe punya kelebihan. Bisa dituakan”

Dan lambat laun punya pengaruh yang tidak saya duga. Saya menjadi nara sumber warga teman diskusi dan apalah namanya. Saya terima saja sebagai suatu kenyataan.

“Pak Dhe aslinya dari mana?”
Seorang lelaki dewasa bertanya di suatu sore. Usianya, mungkin sudah seperempat abad. Pastinya, tapi ini pun dugaan, belum sampai kepala tiga. Dan saya baru kali ini melihat dia di komplek.
“Saya dari kampung”
Ia hanya menganggukkan kepala sebentar. Dari sebutan Pak Dhe dan logat bicara, dia pun sebenarnya tahu, saya asli kampung.
Mulailah dengan lelaki ini saya menemukan orang yang dapat berbincang-bincang bernuansa akademis. Tentang politik, hukum dan peristiwa sosial budaya. Saya meladeni dengan santai dan penuh canda tawa. Dia pun sesekali begitu. Tapi tampang wajahnya menggambarkan dia lelaki yang senang keseriusan. Guratan pada jidatnya yang berjumlah lima garis, menunjukkan hal itu.

Saya pernah ditanya tentang pedofilia olehnya. Saya jelaskan semampu saya. Dan, semakin lama, semakin tajam pula dia bertanya.
“Bagimana seseorang bisa melakukan pedofilia?”
“Bagiamana perasaan trauma korban kejahatan pedofilia?”

Dan, yang membuat saya geram, sebuah pertanyaan yang tanpa basa-basi langsung diarahkan ke hadapan saya. “Bagaimana kalau Pak Dhe yang melakukan pedofilia, apakah akan menyesal?”

Kemudan saya dan dia tidak bertemu lagi. Entah mengapa. Mungkin karena kesibukan pada kami. Walau kesal dengan dia, sejatinya saya senang. Dia bisa menjadi pelecut untuk semakin menambah wawasan. Biar perbincangan kami padat berisi.

Ini minggu siang. Beberapa anak ada di kontrakan saya. Seseorang sedikit gondrong bertandang ke rumah saya.“Bapak Benowo. Saya dari kepolisian. Ditugaskan untuk menangkap Anda”
Ia tunjukkan surat penangkapan. Saya baca sambil berdiri.

Saya terdiam. Lemas. Tak mungkin lari ke luar rumah. Beberapa orang ternyata sudah mengepung rumah saya. Saya melihat, tiga bahkan empat dari mereka bawa bersenjata. Anak-anak belum mengerti dengan situasi ini. Mereka sedikit ketakutan dengan para pria tegap bersenjata.

Saya melihat ketua RT dan beberapa pengurus datang ke depan rumah kontrakan saya. Saya menunduk lesu. Tangan saya diborgol. Dibawa masuk ke sebuah mobil hitam, diapit dua orang petugas reserse.
Tampak anak-anak menangis melihat Pak Dhe-nya diborgol dan dibawa oleh aparat negara. Kerumunan para orang tua menampakkan sebuah wajah keheranan menatap pemandangan hari itu.

“Pak Dhe ditangkap!”
“Kena kasus apa?”

Andai saja mereka langsung tahu dengan kejahatanku dua tahun yang lalu, mereka pasti kaget dan menangis histeris. Tidak menyangka, anak-anaknya selama ini dekat dengan pelaku kejahatan. Dan, sewaktu-waktu bisa menjadi korban juga. Ternyata, Tuhan masih menyelamatkan mereka.

Dua tahun yang lalu, saya melakukan tindakan tak bermoral. Bejad. Lima anak menjadi korban kelainan seksual. Saya senang “bermain-main” dengan anak-anak. Tapi saya merasa sudah tidak nyaman berada di daerah yang dulu. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan. Pindah, sebelum kejahatan saya terbongkar. Saya mencoba menghilangkan jejak.

Saya menatap wajah-wajah yang penuh kecewa dengan yang terjadi siang itu. Saya terlanjur dekat dengan mereka. Anak hingga orang tua. Tapi sekarang kenyataan berkata lain. Saya adalah penjahat. Saya yakin, ketua RT sudah tahu dari polisi. Sedangkan anak-anak pasti tidak tahu. Maka banyak dari mereka yang menangis.

Mobil bergerak meninggalkan kontrakan. Entah bagaimana dengan barang-barang milik saya. Sorot mata mereka benar-benar terarah pada mobil yang saya tumpangi. Saya terdiam dalam apitan dua orang petugas berpakaian preman.

Saya hanya mengucapkan salam perpisahan dari dalam mobil. Sebuah ungkapan perpisahan pada diri sendiri: “Selama tinggal Pak Dhe.”

 

______Oenthoek Cacing-Bumi cahyana, 25 Septeber 2015.

 

 

 

Ilustrasi: poskotanews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun