Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Panggil Saja Pak Dhe

9 Oktober 2015   07:35 Diperbarui: 9 Oktober 2015   07:40 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pedofilia? Mereka belum tahu pedofilia. Kata yang masih asing. Barangkali menjadi penanda, anak sekarang kurang suka menyimak berita. Beda dengan masa kecil saya, berita Koran, radio dan televisi begitu saya gemari.
Saya jelaskan ke mereka tentang kekerasan atau pelecehan seksual yang kerap menimpa anak-anak. Mereka merinding, tercengang mendengar cerita pedofilia.

“Sudahlah, kalian nggak perlu takut begitu. Yang penting kalian hati-hati, jangan mudah dibujuk rayu.” Saya memberi nasihat sebatas itu.

Lama, setelah diterima sebagai warga RT, saya sering mengikuti perkumpulan. Memberi saran dan ide tentang berbagai hal. Keberanian dan kemampuan saya mengeluarkan pendapat, membuka mata warga.
“Pak Dhe punya kelebihan. Bisa dituakan”

Dan lambat laun punya pengaruh yang tidak saya duga. Saya menjadi nara sumber warga teman diskusi dan apalah namanya. Saya terima saja sebagai suatu kenyataan.

“Pak Dhe aslinya dari mana?”
Seorang lelaki dewasa bertanya di suatu sore. Usianya, mungkin sudah seperempat abad. Pastinya, tapi ini pun dugaan, belum sampai kepala tiga. Dan saya baru kali ini melihat dia di komplek.
“Saya dari kampung”
Ia hanya menganggukkan kepala sebentar. Dari sebutan Pak Dhe dan logat bicara, dia pun sebenarnya tahu, saya asli kampung.
Mulailah dengan lelaki ini saya menemukan orang yang dapat berbincang-bincang bernuansa akademis. Tentang politik, hukum dan peristiwa sosial budaya. Saya meladeni dengan santai dan penuh canda tawa. Dia pun sesekali begitu. Tapi tampang wajahnya menggambarkan dia lelaki yang senang keseriusan. Guratan pada jidatnya yang berjumlah lima garis, menunjukkan hal itu.

Saya pernah ditanya tentang pedofilia olehnya. Saya jelaskan semampu saya. Dan, semakin lama, semakin tajam pula dia bertanya.
“Bagimana seseorang bisa melakukan pedofilia?”
“Bagiamana perasaan trauma korban kejahatan pedofilia?”

Dan, yang membuat saya geram, sebuah pertanyaan yang tanpa basa-basi langsung diarahkan ke hadapan saya. “Bagaimana kalau Pak Dhe yang melakukan pedofilia, apakah akan menyesal?”

Kemudan saya dan dia tidak bertemu lagi. Entah mengapa. Mungkin karena kesibukan pada kami. Walau kesal dengan dia, sejatinya saya senang. Dia bisa menjadi pelecut untuk semakin menambah wawasan. Biar perbincangan kami padat berisi.

Ini minggu siang. Beberapa anak ada di kontrakan saya. Seseorang sedikit gondrong bertandang ke rumah saya.“Bapak Benowo. Saya dari kepolisian. Ditugaskan untuk menangkap Anda”
Ia tunjukkan surat penangkapan. Saya baca sambil berdiri.

Saya terdiam. Lemas. Tak mungkin lari ke luar rumah. Beberapa orang ternyata sudah mengepung rumah saya. Saya melihat, tiga bahkan empat dari mereka bawa bersenjata. Anak-anak belum mengerti dengan situasi ini. Mereka sedikit ketakutan dengan para pria tegap bersenjata.

Saya melihat ketua RT dan beberapa pengurus datang ke depan rumah kontrakan saya. Saya menunduk lesu. Tangan saya diborgol. Dibawa masuk ke sebuah mobil hitam, diapit dua orang petugas reserse.
Tampak anak-anak menangis melihat Pak Dhe-nya diborgol dan dibawa oleh aparat negara. Kerumunan para orang tua menampakkan sebuah wajah keheranan menatap pemandangan hari itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun