Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menengok Bayi: Kebahagiaan dan Tradisi

22 Mei 2015   08:35 Diperbarui: 8 Juli 2015   19:50 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa hari belakangan ini, di rumah orang tua saya, ada suasana yang berbeda.  Yang biasanya sepi, kini terasa ramai.  Aroma minyak telon dan kayu putih menyengat hidung.


Kedatangan  bayi yang baru lahir.  Itu yang terjadi, setelah  puluhan tahun tidak ada lagi bayi yang baru lahir mengampiri rumah itu.   Seorang bayi lelaki, anak dari perempuan adik saya.


Namanya saja di pedesaaan, menengok bayi yang baru lahir seperti halnya mendatangi keluarga yang tengah hajatan: sunatan  ataupun pernikahan.  Silih berganti berkunjung, pagi, siang bahkan malam.


Melihat bayi lahir merupakan kebahagiaan tidak saja bagi keluarga, tetapi juga bagi tetangga, teman dan siapapun.  Inilah sosok penerus, yang akan melanjutlah generasi berikutnya.  Yang diharapkan menorehkan tinta kebaikan di masa depan.


“Selamat ya”, begitulah ucapan para tamu.


“Normal apa cesar<span>?” kadang pertanyaan ini muncul.  Bukan hal yang aneh memang, karena sekarang ini seperti “menggejala” perempuan melahirkan dengan cara operasi cesar.


Bersukur, karena persalinanannya normal. Itu artinya biaya tidak besar, tidak merepotkan  karena membengkaknya dana yang harus ditanggung.  Tapi beruntung, dengan menjadi peserta BPJS kesehatan, semua biaya persalinan menjadi “gratis”.


Di masyarakat pedesaan Jawa ada istilah “nyangking”, artinya membawa sesuatu di tangan.  Nyangking menjadi bagian dari rasa ingin ikut merasakan kebahagiaan, memberi sesuatu yang walaupun sekedarnya, tetapi diharapkan ada nilai kebersamaan.


Menengok bayi nyangkingnya apa?  Ternyata sekarang ini bawaan mereka kebanyakan barang-barang kebutuhan rumah tangga yang dijual di toko.  Ada sabun cuci,sabun mandi, pewangi pakaian dll.  Saya melihat ke ruang belakang, ada dua karung beras besar berisi tumpukan sabun cuci ukuran 1 Kg.  Seperti baru saja kulak dari grosir!


Semenjak krisis moneter 1998, pola ini yang terjadi.  Masyarakat bergesar pada hal-hal yang praktis, yang mudah di dapat, tinggal beli dan bawa.


Pada masa saya kecil, di era 70/80-an, perempuan-perempuan yang menengok kelahiran bayi, bawaannya berupa makanan.  Ada yang punya pisang, dibawalah ke sana.  Ada pula yang senang “repot” dengan sengaja membuat gorengan untuk bawaan.  Intinya, berupa makanan.


Satu ciri khas yang dulu ada dan kini hilang sama sekali yaitu membawa satu botol minyak tanah sebagai pendamping selain makanan tadi.  Ini terjadi di kala listrik belum masuk desa.  Hanya ada lampu teplok, senthir dan sedikit istimewa memakai lampu petromak.  Maka, sumbangan minyak tanah dari para tetangga menjadi cadangan bahan energi penerangan bagi keluarga.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun