Mohon tunggu...
Sobran Holid
Sobran Holid Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pelaku usaha yang mengharapkan Indonesia lebih ramah terhadap rakyat kecil. toko onlinehttps://www.bukalapak.com/u/holids https://www.bukalapak.com/u/holids jangan lupa mampir bagi kompasianer dan pembaca yang membutuhkan sparepart motor .

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Menyuburkan Korupsi?

1 Maret 2018   22:25 Diperbarui: 1 Maret 2018   22:34 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar VOA ISlam

Tingginya biaya kampanye sudah menjadi fakta, terang benderang betapa mahalnya biaya untuk menjadi kepala Daerah baik Gubernur, Walikota Bupati bahkan kepala Desa.

Untuk Pilihan Gubernur butuh ratusan milyar, bahkan untuk membeli kursi jika kita dari partai Gurem atau non partai butuh 1-2 milyar perkursi, jika kita membutuhkan 17 kursi untuk calon Gubernur perlu 36 milyar hanya untuk mendapatkan perahu, bisa jadi kurang jika kita pengurus partai pemenang, paling kita hanya perlu biaya untuk internal partai agar rekomendasi  jatuh kekita walau tidak semahal jika kita penyewa murni partai, ini diakui oleh Dedi Mulyadi Cawagub Jabar  ketika Golkar memberikan rekomendasi kepada Ridwan Kamil pada masa Setnov.

Harga Perkursi ini saya dengar persis dari seorang kawan anggota DPR RI,  kebetulan pada saat saya jumpa beliau jam 7 malam di sebuah hotel Jakarta, pada saat bersamaan salah satu Balon Cagub Sumatra selatan ada dihotel yang sama dan sedang membicarakan soal dukung mendukung dan biaya agar keluar rekomendasi.

Saat ini beliau sudah  Cagub di Sumatra selatan dan partai kawan memang memberikan rekomendasi, Isu  mahar politik  ini juga yang membuat partai Hanura Pecah , begitu juga isu  Gerindra terhadap LaNayla balon yang gagal menjadi menjadi Cagub Jawatimur.

Belum lagi biaya saksi per tps , setidaknya perlu  seratus sampai dua ratus ribu per tps  , biaya pembuatan spanduk, tim sukses dan biaya kampanye.  Jika dirupiahkan sangat besar jumlahnya dan  keluarlah angka 50-200 milyar untuk Pilgub, dan 10-50 milyar untuk Bupati dan walikota.

Semua biaya itu harus dikembalikan karena pilkada sama dengan investasi, jika kita pemenang itu mudah dan tidak lama untuk mengembalikan  modal, dengan potongan proyek 10-20 persen jika sebuah pemda tingkat 1 anggaran proyek mencapi 1-2 triliun dalam satu tahun biaya kampanye sudah kembali paling telat 2 tahun, berikutnya bisa untuk menabung pada pilkada berikutnya dan sebagian untuk simpanan dan investasi dimasa yang akan datang.

Sedangkan untuk penda tingkat dua, juga bisa meminta fee dari calon kepala dinas, kepala sekolah dan jabatan-jabatan laiinya yang memang kewenangan bupati atau walikota.

Kalau anda kalah, selamat tinggal, bisa-bisa menyisakan hutang, kita ingat ramadon Pohan politisi demokrat setelah kalah Pilkada di Medan diadukan ke Polisi karena Giro Bodong yang diberikan kepada salah satu peminjam modal untuk biaya kampanye.

Logistik nomor satu, biasanya jika kita punya potensi akan menang akan datang sendiri modal dari para pengusaha yang mengharapkan akses proyek, akses terhadap kekuasaan pada saat calon yang didukung menang, bahkan ada beberapa pengusaha bermain di banyak calon, agar siapapun yang menang dalam pilkada tetap menjadi bagian dari pemenang.

Istilah tak ada makan siang yang gratis atau ada ubi ada talas, ada budi ada balas menjadi sebuah standar dalam politik, pada saat  dukungan dan logistik itu turun ke calon maka ada itu akan menjadi sebuah catatan pada saat Pilkada selesai, semuanya ada hitungan, semuanya ada nilainya.

Posisi sang pemenang akan selalu menjadi dilematis dan cenderung kompromi kepada para pengusaha pendukung walau harus menabrak hokum demi politik balas budi.

Tidak heran banyak sekali kepala dearah tertangkap, hanya ke ajaibanlah dan keberuntungan  ada kepala daerah yang tidak tertangkap oleh KPK, karena jika benar-benar di sadap atau ada mata-mata dimasing-masing pemda yang tanam oleh KPK sangat mungkin dijamin 90 persen kepala daerah akan menjadi tersangka.

Sudah menjadi rahasia umum bagi para Bupati, Gubernur memakai nama pihak lain pada saat membeli sesuatu, baik itu mobil, rumah , tanah ruko dan lain-lain.  Bahkan dikampung saya rumah yang dimiliki oleh Mantan Bupati atas nama orang lain, padahal sekampung  tahu itu adalah rumah mantan Bupati yang dibeli pada saat menjabat dan hanya menjadi bisik-bisik tetangga.

Hebatnya lagi untuk menyamarkan hasil korupsi atau setoran proyek, Bupati yang sekarang menjadi mantan bupati karena sudah 2 priode , untuk rekening penampungan juga mengunakan rekening atas nama orang lain.

Untuk menhindari , ada telpon model lama yang katanya sulit disadap oleh KPK dan nomor bisa dibuang pada saat habis pakai, inilah hebatnya.

Pola juga berlaku didaerah lain, kasus tertangkapnya mantan walikota Kendari dan walikota kendari yang punya hubungan anak Bapak  melengkapi kasus-kasus yang sudah terungkap, lantas adakah keinginan kita untuk memperbaiki sistem demokrasi kita.

Bahwa sistem Demokrasi masih cara yang terbaik untuk saat ini dalam system pemilihan kepada daerah ,jawaban pasti Ya, tetapi jika untuk kesejahteraan rakyat ini menjadi tanda  Tanya?., karena demokrasi kita adalah demokrasi kapital yang sarat dengan modal , bukan demokrasi berdasar kecerdasan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik.

Jika tidak dibenahi dan dicarikan jalan keluar atas system demokrasi kita, sama saja dengan kita mengali kuburan buat NKRI, bukan kemakmuran, bukan keadilan yang kita dapat tetapi menjadi negara lemah dan tak berdaya, kita tidak ingin Negara ini seperti Zimbabwe, venezuella atau Argentina bekas Negara maju yang kemudian menjadi Negara terbelakang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun