Sesuai undang-undang dasar negara semua warga negara mestinya punya hak yang sama untuk menjadi pimpinan pemerintahan. Jadi jika para politikus menggunakan ayat agama untuk menghalangi calon lain tentu tidak adil. Itulah yang mungkin maksud Ahok dalam ucapan yang kesleo itu di Kepulauan Seribu. Saya sejak dulu juga sering sekali mendengar para politikus, para narasumber di TV dan radio yang bicara masalah itu. Kok gak seheboh yang diucapkan Ahok. Setelah saya analisis (tentu analisis ringan saja) itu mungkin karena, (1) ahok pejabat publik, (2) Ahok non-muslim (menurut merka non muslim gak boleh ngomong ayat-ayat suci), dan (3) ahok bermata sipit.
Yang nomor 2 dan 3 ini yang “dibenci” oleh kaum muslim atau kaum mayoritas. Maaf ini kesimpulan bodoh saya. Dan ini yang membuat saya merasa malu terutama jika ada peristiwa sensitif ini muncul hingga akhirnya menjadi kerusuhan. Kenapa kita jadi pemarah dan pendendam dan akhirnya jadi sangat sadis dan kejam. Menurut saya peristiwa '98 sangat tidak manusiawi. Apakah kuta mau ini terulang kembali?
Kini Ahok sedang berjuang sendiri. Mungkin sedang merasakan jeritan kepedihan, atau penyesalan, atau kebingungan. Tetapi dari raut mukanya pada akhir-akhir ini, saya merasakan kebingungan dan kekecewaanya. Kekecewaanya, mungkin menganggap mereka kaum muslim mengapa begitu tega, tidak ada rasa maaf, tidak mau mengerti tentang visi misi, dan cita-cita yang ingin ia sampaikan. Apalagi mau menyampaikan bukti prestasi. Sama sekali tak diakui.
Muka sedih yang dalam dan juga mungkin rasa marah yang tertahan terlihat di raut muka yang memerah saat menjelaskan ke media mengapa sekarang ditolak di mana-mana saat kampanye. Sudah sangat tidak logis lagi, peserta pilkada dihalangi untuk kampanye. Anehnya Bawaslu hanya membisu.
Sekali lagi kita terus diam dan tetap diam karena ini masalah sensitif? Karena yang kita bicarakan orang sipit dan minoritas? Jika ada kekacauan yang lebih besar berarti kita akan mundur ke belakang, 10 hingga 20 tahun. Bahkan bisa lebih parah dampaknya bagi ekonomi dan sosial.
Sekali lagi jangan demo tanggal 25 Agustus. Itu hari ulang tahun kami, para guru. Biar kami bisa tenang mendidik tunas-tunas bangsa. Jangan ditunggangi dan jangan dipaksa kami untuk prei di hari indah milik kami.
Please! Bantu kami janganlah ini menjadi sejarah kami yang akhirnya kami benci sampai mati. Jangan membuat sejarah mengerikan yang dikenang orang karena ada peristiwa buruk yang terjadi di hari ultah kami. Karena terus terang kami tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang saya tahu itu pertanda tida baik jika terjadi di hari itu. Please, itu hari kami kaum guru, jangan dinodai, jangan ditunggangi, biar tetap suci bagi kami. Itu hari yang sangat berarti bagi kami dan siswa-siswa kami di mana mereka akan menyanyikan lagu Bagimu Negeri, Melati Suci, dan selamat Hari Jadi yang pasti dengan setangkai mawar di tangan-tangan siswa-siswa kami yang mungil yang sering mereka beri ke kami.
Please, jangan disambut ulang tahun kami dengan iringan teriakan-teriakan kebencian dan kotor dari toa yang memekakan telinga. Karena, itu pasti akan menutupi keindahan harmoni paduan suara yang sedang dialunkan siswa-siswa. Please jangan anak-anak kami di sekolah menjadi trauma karena mendengar kata-kata kotor, makian yang tidak pernah didengar sebelumnya. Dan, apalagi yang lebih buruk yang mungkin bisa saja terjadi jika tak terkendali.
Semoga kasus Ahok ini cepat selesai (baik dinyatakan bersalah maupun tidak) dan menjadi pembelajaran kita semua, baik Ahok sendiri agar hati-hati dalam bicara, pemerintah agar selalu berlaku bijak dan adil (seperti yang dituntut pendemo) dan kita semua agar bisa berpikir dan bersiap sabar agar eksesnya tidak memperburuk keadaan terutama sikap toleran sang sudah dikagumi di negara manca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H