Saya sedih mendengar isu akan ada demo Bela Islam III. Sedihnya karena, pertama, masyarakat tidak tahu bahwa itu adalah hari guru, hari ulang tahun kami para guru, guru-guru kita juga. Sedih karena kami benar-benar dilupakan. Apakah kami mau diajak untuk gabung bersama ormas Islam, atau warga lain yang merasa tersakiti oleh orang (belum tentu) bersalah yang sudah minta maaf. Apakah kami diminta untuk membalas dendam dan kalau bisa terus dihembuskan sampai Ahok dihukum? Kedua, sedih karena tidak banyak yang memikirkan dampak negative yang ditimbulkan. Ketiga, banyak tokoh agama yang melupakan bahwa kita Indonesia. Keempat, para tokoh akademis diam seribu bahasa seolah tidak ada apa-apa padahal bahaya perpecahan di depan mata, bahkan ada tokoh akademisi yang menjadi salah satu tokoh pendemo.
Saya tidak memahami politik tetapi saya merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hati saya bahwa ada sesuatu yang tidak adil dan tidak masuk akal di mana mereka berjuang yang hanya memikirkan perasaana, golongan atau kepentingannya saja, di atas kepentingan nasional yang lebih besar yang bernama Indonesia.
Maafkan saya mungkin keimanan saya sangat cetek. Saya lebih merasakan dari sisi kemanusiaan dan kepentingan nasional. Yang saya rasakan hanya perlakuan yang keterlaluan kepada seorang Ahok. Ibaratnya, dia sudah kalah perang, minta maaf, tetapi kita terus menguhukum, dan menganiaya tiada ampun. Bukankah di sudah ditangani hukum? Biar hukum tetap berjalan dan kita tetap kawal.
Seingat saya sewaktu masih kecil, saya sering diberi contoh-contoh ahlak Rasulallah Muhammad oleh guru ngaji saya di suro yang menggambarkan Beliau yang penyayang, pemaaf, dan bukan pendendam. Sering dihina dan diludahi pun Beliau tetap diam. Bahkan Beliau menjenguk saat si penghina tadi sedang sakit. Tidak pernah guru mengaji saya berceritera tentang perkataan-perkataan Baginda yang kasar. Cerita-cerita saat saya kecil itulah yang paling berkesan dan membekas. Mengapa kita tidak mernirunys. Masih dilanjutkan saat di SMP dan SMA. Tetap sama ceritanya, Beliau patut kita teladani.
Tidak ada guru agama di sekolah yang bercerita tentang ahlak Baginda Nabi yang kasar, bengis dan mengerikan. Kenapa kita umatnya sekarang, juga para pemimpin agama berbicara sangat kasar, fulgar, misalnya tentang ancaman ke Ahok yang seharusnya bisa diamputasi atau diusir dari negeri ini. Tidak sama sekali bicara dalam konteks Indonesia.
Sekali lagi saya tidak mengerti banyak tentang politik tetapi saya merasakan Indonesia akan pecah jika kita hanya memikirkan kepentingan sentimen pribadi, golongan atau kepentingan sesaat. Lihat para ulama kita, dalam pembelaannya hanya dilihat dari sudut kepentingan satu kelompok saja. Pokoknya salah ya salah, itu penistaan agama. Tidak pernah melihat konteksnya. Apalagi konteks yang lebih besar, nasional. Ya Allah ampuni saya kenapa saya tetap tidak mengerti. Benarkah Allah perlu dibela. Menurutku Allah yang akan bela kita, yang akan menolong kita. Kita cukup berdoa agar hal ini jangan menjadikan bangsa ini pecah.
Sekalai lagi maaf jika banyak yang tidak sepaham. Bukan mau bela Ahok. Tidak, hukum yang harus dibela jangan ada kesan memaksa. Kita jaga wibawa negara di mata dunia jangan seperti ditekan. Saya juga heran mengapa rasa ingin membela kebhinekaan yang lebih kuat dari pada perasaan sentiment pribadi. Biasanya kalau saya sudah memaafkan seseorang yang minta maaf maka perasaan saya menjadi plong. Kakek saya yang juga pejuang lokal di kampung saat jaman perjuangan sering cerita tokoh Sukarno dan kawan-kawannya saat memperjuangkan dasar negara sampai pada perumusan pembukaan UUD 45. Yang sangat berkesan adalah mengapa para tokoh agama akhirnya merelakan untuk menghilangkan frasa “dengan menjalankan syariat –syariatnya (Islam)”.
Lebih kagum lagi orang Jawa yang mayoritas mau merelakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, mengapa bukan bahasa Jawa saja yang diangkat. Cuma satu alasannya, karena mereka para pendiri negara sadar bahwa kita majemuk. Teridiri dari banyak bangsa, suku, adat, dan budaya yang berbeda. Jadi, yang mayoritas tidak boleh memaksa kehendak ke pada yang minoritas. Jika tidak bisa saling memahami sudah dipastikan suatu saat Indonesia akan hancur berkeping-keping. Jumlah satu maknanya sama dengan seribu. Itulah makna sila keempat Pancasila. Musyawrah untuk mupakat adalah jiwa demokrasi kita yang sebenarnya. Bukan ADU KUAT. Itulah mengapa voting kurang cocok dengan semangat sila ke 4 Pancasila.
Oh ya, maaf saya sering menyebut kakek. Karena cerita-cerita beliau yang heroik sangat tertanam dalam sanubari saya. Betapa perjuangan para perintis kemerdekaan telah memikirkan nasib Indonesia jauh ke depan. Tentang bahasa misalnya. Tidak ada salah satu etnis atau suku yang protes tentang bahasa nasional seperti negara lain yang masih mencari-cari bahasa nasionalnya.
Saya juga mengagumi peran Sukarno saat jaman perjuangannya dan jaman revolusi. Rasa nasionalisme yang selalu dikobarkan membawa rakyat Indonesia tetap bangga dengan negaranya. Selanjutnya kakek saya juga memberi nama saya Suharto, seorang tokoh yang sangat dikagumi beliau saat itu. Kakek pun bercerita tentang kehebatannya saat di medanperang dan saat menumpas G30S/PKI, walaupun pada akhir-akhir ini saya prihatin karena akhirnnya nama Suharto termasuk yang dihujat sebagian masyarakat Indonesia. Tetapi pada tokok Suharto ini pun saya kagum karena sikapnya yang menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.
Kembali ke masalah isu demo tanggal 25 November. Tidak banyak tokoh politik apalagi tokoh agama yang bicara masalah nasional, kebinekaan yang notabene adalah jatidiri kita. Saya heran mereka benar-benar tidak mau tahu, tidak tahu atau sengaja pura-pura tidak tahu. Mereka seolah melihat ini negara agama, bukan negara Indonesia yang warga penduduknya berbagai etnis, dan agama. Supaya imbang para tokoh nasional mestinya jangan bicara dari satu sudut saja supaya masyarakat yang cetek pengetahuan dan rasa nasionalisimenya kurang juga bisa merasakan sebagai bangsa Indonesia.
Sesuai undang-undang dasar negara semua warga negara mestinya punya hak yang sama untuk menjadi pimpinan pemerintahan. Jadi jika para politikus menggunakan ayat agama untuk menghalangi calon lain tentu tidak adil. Itulah yang mungkin maksud Ahok dalam ucapan yang kesleo itu di Kepulauan Seribu. Saya sejak dulu juga sering sekali mendengar para politikus, para narasumber di TV dan radio yang bicara masalah itu. Kok gak seheboh yang diucapkan Ahok. Setelah saya analisis (tentu analisis ringan saja) itu mungkin karena, (1) ahok pejabat publik, (2) Ahok non-muslim (menurut merka non muslim gak boleh ngomong ayat-ayat suci), dan (3) ahok bermata sipit.
Yang nomor 2 dan 3 ini yang “dibenci” oleh kaum muslim atau kaum mayoritas. Maaf ini kesimpulan bodoh saya. Dan ini yang membuat saya merasa malu terutama jika ada peristiwa sensitif ini muncul hingga akhirnya menjadi kerusuhan. Kenapa kita jadi pemarah dan pendendam dan akhirnya jadi sangat sadis dan kejam. Menurut saya peristiwa '98 sangat tidak manusiawi. Apakah kuta mau ini terulang kembali?
Kini Ahok sedang berjuang sendiri. Mungkin sedang merasakan jeritan kepedihan, atau penyesalan, atau kebingungan. Tetapi dari raut mukanya pada akhir-akhir ini, saya merasakan kebingungan dan kekecewaanya. Kekecewaanya, mungkin menganggap mereka kaum muslim mengapa begitu tega, tidak ada rasa maaf, tidak mau mengerti tentang visi misi, dan cita-cita yang ingin ia sampaikan. Apalagi mau menyampaikan bukti prestasi. Sama sekali tak diakui.
Muka sedih yang dalam dan juga mungkin rasa marah yang tertahan terlihat di raut muka yang memerah saat menjelaskan ke media mengapa sekarang ditolak di mana-mana saat kampanye. Sudah sangat tidak logis lagi, peserta pilkada dihalangi untuk kampanye. Anehnya Bawaslu hanya membisu.
Sekali lagi kita terus diam dan tetap diam karena ini masalah sensitif? Karena yang kita bicarakan orang sipit dan minoritas? Jika ada kekacauan yang lebih besar berarti kita akan mundur ke belakang, 10 hingga 20 tahun. Bahkan bisa lebih parah dampaknya bagi ekonomi dan sosial.
Sekali lagi jangan demo tanggal 25 Agustus. Itu hari ulang tahun kami, para guru. Biar kami bisa tenang mendidik tunas-tunas bangsa. Jangan ditunggangi dan jangan dipaksa kami untuk prei di hari indah milik kami.
Please! Bantu kami janganlah ini menjadi sejarah kami yang akhirnya kami benci sampai mati. Jangan membuat sejarah mengerikan yang dikenang orang karena ada peristiwa buruk yang terjadi di hari ultah kami. Karena terus terang kami tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang saya tahu itu pertanda tida baik jika terjadi di hari itu. Please, itu hari kami kaum guru, jangan dinodai, jangan ditunggangi, biar tetap suci bagi kami. Itu hari yang sangat berarti bagi kami dan siswa-siswa kami di mana mereka akan menyanyikan lagu Bagimu Negeri, Melati Suci, dan selamat Hari Jadi yang pasti dengan setangkai mawar di tangan-tangan siswa-siswa kami yang mungil yang sering mereka beri ke kami.
Please, jangan disambut ulang tahun kami dengan iringan teriakan-teriakan kebencian dan kotor dari toa yang memekakan telinga. Karena, itu pasti akan menutupi keindahan harmoni paduan suara yang sedang dialunkan siswa-siswa. Please jangan anak-anak kami di sekolah menjadi trauma karena mendengar kata-kata kotor, makian yang tidak pernah didengar sebelumnya. Dan, apalagi yang lebih buruk yang mungkin bisa saja terjadi jika tak terkendali.
Semoga kasus Ahok ini cepat selesai (baik dinyatakan bersalah maupun tidak) dan menjadi pembelajaran kita semua, baik Ahok sendiri agar hati-hati dalam bicara, pemerintah agar selalu berlaku bijak dan adil (seperti yang dituntut pendemo) dan kita semua agar bisa berpikir dan bersiap sabar agar eksesnya tidak memperburuk keadaan terutama sikap toleran sang sudah dikagumi di negara manca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H