Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ode Penghabisan untuk Satu dan Seluruh Hari Hujan

28 Mei 2011   12:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:07 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kemudian anak itu akan hening menyiapkan memorial perpisahan. Dia akan terjun dengan kepala di bawah, yang kelak pecah menyongsong batu-batu yang dipeluk arus sungai. Dia toh berkuasa menetapkan mautnya demi kemerdekaan dari ilusi. Dia-lah tuhan bagi kenangan. Maka dijatuhkanlah dirinya; menghujam bagai butir hujan.

Dengan berbuat demikian dia telah memulangkan dirinya kepada dunia; kepada kenyataan.

.

Sementara, manusia agaknya masih punya talenta dan gen untuk menyimpan kecewa dan anak-anak nyeri yang mungkin tumbuh dari hukum sederhana: bahwa siapapun, tak terkecuali dia dan gadis gipsi, hanya bisa menggubah prosa dan puisi jika sukmanya telah lebih dahulu sampai ke tempat tinggi, angkasa idea, hingga mudah saja bagi pena dan sekujur tubuhnya turut menyusul pergi. Sayangnya si lelaki berziarah ke alam tinggi cuma untuk tak menemukan siapa-siapa.

.

Tak ada kabar lagi setelah lelaki itu terbangun dari ilusi. Dunia-dunia yang berbeda pun bergulir masing-masing seperti biasanya.

Angkara sesungguhnya memang tak pernah ada. Apalagi kebencian. Tetapi barangkali duka yang lindap akan mengadu diam-diam ke duli alam meski tanpa sekehendak pemilik dada. Alam menata dirinya dalam keseimbangan. Selalu ada musim panen terjanji bagi siapa pun yang menanamkan lara.

.

Lelaki yang kian menua itu kini berjalan seperti biasa dan menampik segala gelombang deras. Menganggap kenangan layaknya sirkus. Telah diyakinkannya diri bahwa setiap langkah tertempuh bukan menggerakkan tubuhnya ke ufuk lepas. Melainkan justru bulatan bumi yang bergulir mundur oleh kakinya. Seperti akrobat di atas bola.

Ketika tiba di satu tepian jembatan nyata, dia melipir ke arah turap. Menuruni lereng bersempadan. Udara begitu jernih dan tanpa beban.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun