.
"Selamat malam, Pak Andry. Selamat datang di studio."
"Malam juga, Mbak Shangrila."
"Anda kelihatan cerah sekali malam ini. Seperti kita tahu, Anda barusan saja kalah dalam pemilihan ketua Partai Djengkolat. Tapi tampaknya Anda relaks sekali. Bagaimana sebenarnya sikap Anda menghadapi kekalahan tersebut, Pak?"
"Gondok sih gondok, Mbak. Untung saya pakai make up, makanya ceria begini. Hm, pada dasarnya saya legawa saja. Siapa pun yang terpilih, yakinlah bahwa ia akan berbuat banyak bagi negeri ini."
"Luar biasa. Memang sifat kenegarawanan demikianlah yang diharapkan oleh rakyat."
"Terima kasih, Mbak. Ehem. Ehem."
"Tetapi patut disayangkan juga ya, Pak, mengingat Anda sejak awal terlihat amat percaya diri untuk menang."
"Lho, saya ini menjaga disiplin untuk pede, Mbak. Perkara orang menilai berlebihan, itu urusan mereka."
"Padahal boleh dibilang Anda ini telah mengantungi restu dari pucuk eksekutif kita. Begitu pun dari putra beliau. Eh, kok kalah. Aneh, ya? Saking mustahilnya sampai-sampai ada pihak yang berkelakar kalau kekalahan Anda kali ini adalah imbas kutukan, karena tahun lalu Anda sempat merilis pernyataan bahwa orang Bugis belum saatnya jadi pemimpin negeri ini. Anda menyindir Jusuf Kalla saat itu, orangtua Anda sendiri, ketika beliau mencalonkan diri ke kursi presiden. Kini malah Anda yang kena getok premis tersebut. Apa tanggapan Anda bagi skenario kutukan itu?"
"Justru di situ letak kekuatan futurologis kata-kata saya, Mbak. Saya bilang A, hasilnya A. Itu akademis sekali dan sangat ilmiah. Coba saya bilang dulu, 'Orang Sulsel pantas memimpin dunia', saya sekarang pasti sudah jadi menpora Uni Eropa."
"Bagaimana tanggapan Anda tentang selentingan yang menyebut Anda menjual kedekatan dengan RI-1 sebagai komoditas eleksi, seperti terlihat di baliho-baliho raksasa yang memuat gambar Anda berdua, contohnya macam yang ada di depan Plasa Semanggi itu, misalnya?"
"You ini TV apa tabloid gosip, sih? Selentingan kok diurus. Prek."
"Maaf. Tapi bisakah Anda konfirmasi sedikit saja tentang hal tersebut?"
"Yee, 'maksa banget. Ya sudah, begini! Koneksi dengan figur besar adalah memang kapital politis! Kita semua sebaiknya jangan munafik! Wong budaya kita begitu, kok. Coba perhatikan saja, kalau orang ketemu artis atau seniman kondang di mal lalu foto bareng, besoknya dia unggah ke FB, kan? Itu saja alasannya. Sudah. Saya lagi gondok, 'ni. Jangan provokasi."
"Baiklah, Pak. Tetapi saya cuma mau tanya sedikit lagi tentang kedekatan Anda dengan putra presiden, Mas Sabu...eh salah...Mas Ubas, yang juga duduk di kursi elit Partai Djengkolat. Tampaknya dia kagum sekali kepada Anda. Pada satu kesempatan dia bahkan pernah bilang, 'AM itu bukan orang Jawa namun bisa berbahasa Jawa'. Betul demikian?"
"Ho, ya iya. Jadi ceritanya 'tu begini. Pada suatu acara arisan, Mas Ubas melemparkan tebak-tebakan, 'Manuk apa sing bokonge gedhe?' Lalu saya jawab, 'Manok-hara.' Dari situlah awal mula Mas Ubas tahu kalau saya fasih bahasa Jawa, Mbak. Ha ha ha."
"O. Saya sendiri malah enggak tahu apa artinya. Tapi saya yakin maknanya pasti relijius. Omong-omong, Pak Andry, kemarin Anda pasti menghamburkan dana besar bagi kampanye, ya. Maaf, agak lancang sedikit. Boleh tahu, berapa dan dari mana anggaran untuk itu?"
"Sudah tahu lancang kok ditanyakan juga!? Matane ambleg. Bajinguk badheg. Kaya ngene iki tipi saiki ya. Hasyouw tenan. Marai emosi ae. Suk tak obong sisan dapure pemegang saham."
"Maaf?"
"Ah, tidak. Sudahlah. I'm exercising the right not to talk. Yes I am. Pertanyaan lainnya saja. Silakan."
"Hm, ini masih seputar proses kampanye ya, Pak. Tentang klip iklan pencalonan Anda, yang diputar di internet dan televisi itu, sebenarnya konsepnya bagaimana, Pak? Kok ada anak-anak muda bernyanyi sama-sama sambil melihat ke langit, dan lirik lagunya itu: Aaa...Eeem...Aaa...Eeem.... Apakah maksudnya mereka menunggu si AM itu jatuh dari langit, kayak Mr. Bean, begitu?"
"O, bukan demikian, Mbak. Konsepnya sederhana saja. Saya diberitahu oleh penggarap klipnya tentang satu semboyan dari dunia periklanan, yang bunyinya if you have no idea, just sing it. Saya bilang oke. Terserah. Mau sing it kek, mau singit kek, saya percaya. Ya, jadilah macam begitu, nyanyi-nyanyi. Saya menuntut satu hal, kalau bisa bintang iklannya didatangkan dari beragam kalangan. Jadi ada yang sipit, kulit gelap, jilbaban, atau klimis pakai rompi kaya presenter tipi, yang semuanya nyanyi koor Aaa-eem. Sengaja dibikin rame dengan tema Bhineka Tunggal Ika, Mbak Shangrila, biar kayak iklan Indomie."
"Nah, sekarang apa agenda Anda berikutnya setelah kekalahan ini, Pak Andry, dalam posisi sebagai tokoh politik, dan birokrat-teknokrat?"
"Tetap saja. Saya akan tetap bekerja sebaik-baiknya bagi pemerintahan. Di bidang politik, saya sudah cukup puas dalam posisi sebagai king maker, tanpa harus jadi raja. Justru di situ ada peran yang lebih signifikan. Kalau kata dik Dewi Lestari, biarkan 'malaikat jual tahuuu, akuuu yang jadiii...juu-ragan-nyaaa'. Begitu, Mbak. Lalu berhubung Rezim Beyek ini entah mengapa beriringan melulu dengan bencana-bencana alam skala besar, saya dan kawan-kawan lembaga survei tengah menggagas metode quick count ke dalam proses mitigasi. Jadi kita tidak perlu menunggu lama untuk tahu berapa jumlah korban jiwa yang jatuh dalam suatu bencana alam. Tidak perlu gali-gali dulu, kita bisa langsung tahu. Itu saja, Mbak."
"Luar biasa. Menarik sekali. Sayang, waktu kita hampir habis. Terakhir, Pak, apa ada pesan dan kesan khusus dari Anda bagi pemirsa di Indonesia?"
"Yah, singkat saja. Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, saya ucapkan terima kasih atas dukungan Saudara selama ini bagi saya. Majulah dan terus berkarya merebut masa depan. Namun bagi pihak-pihak yang punya sentimen negatif terhadap saya, terutama para penulis blog-blog tidak-jelas yang gemar mendiskreditkan saya, bikin saya jadi bahan olok-olok, atau memarodikan karakter saya, maka saya ucapkan: Dasar ngehe. Sudah pada jagoan apa, heh?! Saya ini masih muda! Menjabat! Maju sini kalau berani satu-satu! Nge-(sensor). Pu-(sensor). Tai-(sensor).
(Sensoooooooooooooooooooooooooooor)
(sensoooooooooooooooooooooooooooor)
(sensoooooooooooooooooooooooooooor)."
"Aduh-duh. Eh, pemirsa, acara kami tutup di sini. Tetapi sebelumnya kami ingin meralat pemberitaan kemarin yang menyatakan bahwa AM meninggal dunia. Bukan, pemirsa. Kami atas nama seluruh jajaran redaksi mohon maaf sebesar-besarnya. Yang benar, Bapak AM belum meninggal dunia. Sekali lagi: AM tidak meninggal dunia. Nah, ini buktinya, Bapak AM sedang dapat histeria dan masih hidup segar bugar di studio kami. Reporter lapangan TV ONE-NG melakukan kesalahan, dan untuk itu kami mohon beribu maaf. Sebetulnya yang meninggal dunia adalah AM lainnya, yaitu Agnezz Monikah, kucing siam peliharaan bapak pemimpin redaksi. Demikian, kami harap kemaklumannya. Mohon jangan pernah beralih nonton Marto TV hanya gara-gara kejadian begini. Selamat malam dan terima kasih."
.
***
.
-Ps; ini adalah repost iseng dari Nothinglasts Forest, sehubungan pemilik lapak sedang disibukkan oleh kertas-kertas berantakan-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H