"Justru di situ letak kekuatan futurologis kata-kata saya, Mbak. Saya bilang A, hasilnya A. Itu akademis sekali dan sangat ilmiah. Coba saya bilang dulu, 'Orang Sulsel pantas memimpin dunia', saya sekarang pasti sudah jadi menpora Uni Eropa."
"Bagaimana tanggapan Anda tentang selentingan yang menyebut Anda menjual kedekatan dengan RI-1 sebagai komoditas eleksi, seperti terlihat di baliho-baliho raksasa yang memuat gambar Anda berdua, contohnya macam yang ada di depan Plasa Semanggi itu, misalnya?"
"You ini TV apa tabloid gosip, sih? Selentingan kok diurus. Prek."
"Maaf. Tapi bisakah Anda konfirmasi sedikit saja tentang hal tersebut?"
"Yee, 'maksa banget. Ya sudah, begini! Koneksi dengan figur besar adalah memang kapital politis! Kita semua sebaiknya jangan munafik! Wong budaya kita begitu, kok. Coba perhatikan saja, kalau orang ketemu artis atau seniman kondang di mal lalu foto bareng, besoknya dia unggah ke FB, kan? Itu saja alasannya. Sudah. Saya lagi gondok, 'ni. Jangan provokasi."
"Baiklah, Pak. Tetapi saya cuma mau tanya sedikit lagi tentang kedekatan Anda dengan putra presiden, Mas Sabu...eh salah...Mas Ubas, yang juga duduk di kursi elit Partai Djengkolat. Tampaknya dia kagum sekali kepada Anda. Pada satu kesempatan dia bahkan pernah bilang, 'AM itu bukan orang Jawa namun bisa berbahasa Jawa'. Betul demikian?"
"Ho, ya iya. Jadi ceritanya 'tu begini. Pada suatu acara arisan, Mas Ubas melemparkan tebak-tebakan, 'Manuk apa sing bokonge gedhe?' Lalu saya jawab, 'Manok-hara.' Dari situlah awal mula Mas Ubas tahu kalau saya fasih bahasa Jawa, Mbak. Ha ha ha."
"O. Saya sendiri malah enggak tahu apa artinya. Tapi saya yakin maknanya pasti relijius. Omong-omong, Pak Andry, kemarin Anda pasti menghamburkan dana besar bagi kampanye, ya. Maaf, agak lancang sedikit. Boleh tahu, berapa dan dari mana anggaran untuk itu?"
"Sudah tahu lancang kok ditanyakan juga!? Matane ambleg. Bajinguk badheg. Kaya ngene iki tipi saiki ya. Hasyouw tenan. Marai emosi ae. Suk tak obong sisan dapure pemegang saham."
"Maaf?"