Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bunuh Diri, Wanprestasi

4 November 2010   13:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:51 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ladang Gandum dan Kawanan Gagak, van Gogh (dokumen pribadi)

.

Petunjuk pemakaian: Tulisan ini khusus ditujukan bagi mereka yang berusia di bawah 25

Anda pernah ingin bunuh diri? Saya pernah, dulu sekali waktu duduk di sekolah menengah. Saya pernah ingin menembak kerongkongan saya pakai revolver ilegal milik bapak dengan alasan bosan menemui dunia, yang masih saya anggap melulu brengsek, sebelum akhirnya saya ketahui belakangan ia punya banyak sekali keajaiban.

Dulu sebenarnya saya diselamatkan Aa’ Gym. Waktu laras itu sudah masuk mulut, beliau datang dan bilang, “Hayoo, mau bunuh diri, khan? Betul, tidak? Betul, tidak?” Jarang ada orang tahu persis maksud perbuatan saya, makanya saya kaget. Pun karena doyan dilempari pertanyaan, saya jadi terpancing belagu, sok-sokan akademis, ingin tahu apa itu hakikat tindak bunuh diri sebetulnya. Lantas saya jadi lumayan sibuk cari referensi ke kitab-kitab suci; ke biografi van Gogh sampai UU Lalulintas karena saya pikir peraturan ini melarang keras orang yang suka kebut-kebutan tapi emoh pakai helm agar bisa bunuh diri di jalan raya. Cukup sibuk hingga saya lupa mau cepat-cepat mati, dan malah awet hidup sampai sekarang.

Semua agama kitab punya ayat-ayat yang mengutuki tindak bunuh diri. Tuhan sebagai pemberi hidup saja yang pegang kewenangan mutlak menetapkan kematian, lain tidak. Saya setuju sekali. Maka saya kutuki kalian-kalian, hei, yang mau mati sebelum bayar utang ke saya.

Namun memang selalu ada keindahan ornamental dalam tindakan satu ini. Ada semacam penegasan kedaulatan yang heroik; bahwa dengan sadar orang menerapkan hak memilih sendiri untuk mengakhiri eksistensinya. Dalam Dead Poets Society dilukiskan detik-detik sebelum Neil, salah satu tokoh utama, mencontek bekas calon perbuatan saya yaitu menembak diri. Malam terakhir dalam fragmen sesaat sebelum mati itu amat hening. Angin pelan, memperdengarkan bunyi-bunyian langkah, seperti membahasakan kesadaran yang amat jernih di diri Neil. Ia melepas seluruh pakaiannya dalam gerak lambat, bergeming tegak di jendela yang dibukanya untuk menarik nafas dari udara luar, lalu mengenakan sebentar mahkota Puck-nya buat terakhir kali sebelum menuruni anak tangga. Ia memasuki ruang kerja ayahnya, dan dor, hidupnya selesai.

Mungkin jiwa manusiawi di dalam diri Neil mengatakan makna hidup tak dapat ditemukan ulang setelah yang lama dihancurkan. Hasrat batinnya, yang sejak lahir diperjanjikan bahkan oleh Tuhan sendiri untuk merdeka, telah dipatahkan dan disabotase secara kejam oleh kediktatoran sang ayah. Dan jalan keluar fatal itulah yang lantas diperbuatnya. Ia wujudkan kemerdekaan diri ke dalam laku, seolah mengatakan, “Saya berkuasa penuh, berhak penuh.” Hanya sayangnya Neil tak pernah bisa kembali ke dunia untuk mengenyam hak yang sudah tegas-tegas ia nyatakan.

Saya pikir dua motif manusiawi terbesar pelaku bunuh diri ialah pembalasan rasa sakit dan ketiadaan harapan. Satu-satu maupun sekaligus, atau kombinasi satu melengkapi yang lain. Orang yang memandang nilai hidup tertinggi terletak pada diri kekasih yang disayangi tapi menolak cintanya akan senang hati minum racun tikus. Pemuja keeratan ordo rela mati sama-sama; dan yang mengagungkan keksatriaan dalam pengabdian entah kepada leluhur, klan, bangsa atau agamanya yang diinjak-injak bersedia mengorbankan nyawa. Semua dilakukan dalam keadaan sakit dan tak ada harap.

Tapi bukankah dalam melaksanakan tindakan itu mereka telah menyisipkan setidaknya sedikit harapan,  demi munculnya itikad berlaku adil dari diri sang tiran, seperti yang dipikirkan para simpatisan militan IRA? Sukardal, seorang tukang becak yang pada tahun 1986 silam ditemukan menggantung diri di sebuah pohon di Bandung, mungkin saja berharap satu saat Tibum yang sehari sebelumnya merazia dan merampas becaknya, satu-satunya alat pencaharian sang bapak malang, bisa menyesali kebijakan kotapraja yang sama sekali tak bijak itu. Bukankah itu juga bentuk harapan?

Jika Anda bertanya retorik demikian saya kuatir tak bisa jawab disamping tak harus jawab. Mungkin bagi saya sendiri berharap berarti mau mencari makna-makna hidup di luar apa yang telah kita yakini tapi dihilangkan atau direbut paksa dari diri kita. Jika pun saya cuma bisa percaya bahwa mau diapakan juga dunia enggak bakal berubah baik, saya tetap harus berbuat sesuatu, nonetheless, begitu kata almarhum bapak saya. Wojtyla, bapak mulia itu, mewanti-wanti supaya jangan takut berharap di tengah dunia yang kita huni ini, yang memang kebetulan tempat terbaik untuk putus asa. Kian hari bakal makin banyak orang menemukan alasan berputus asa jika cara dunia dan manusia bekerja masih bertahan sama seperti yang lalu-lalu. Jika saya sekularisasikan, ajakan beliau tersebut mungkin berbunyi: Engkau harus teguh. Mungkin engkau memang tak kuasa mengubah dunia namun, selama masih bernyawa, engkau bisa terus mencoba. Itulah martabat dan kehormatan manusia dalam pengertian sederhana Paman Wojtyla. Juga dalam pengertian kawan SMA saya, si JM, yang pernah menangguk 4 juta perak dari sekeping koin senilai goceng.

Alkisah, dia hobi main judi mesin di Grogol. Suatu kali, di saat matanya sudah lebam runyam akibat begadang 2 malam berurut ditambah efek anggur cap Rajawali yang botolnya berbaris di kap mesin, dia mau menyerah pulang. Tapi seekor setan di sisinya (bukan saya, lho) berbisik: Udeh, ‘nanggung amat lu cabut, pake aje dulu tu biji, emang lu pengen kerokan ape di rume?

Dus masuklah itu koin ke dalam slot. Putar punya putar, 10 detik kemudian 200 keping koin berhamburan keluar kaya bubaran anak SD dari tudung output, sampai dia kelabakan ‘mungutnya. Tentu kantuk raib sekejap kalau sudah begitu. Lantas dia pindah ke blackjack buat menambahi lagi sejumlah 3 juta ke kantongnya hanya dalam 25 menit. Setelah saya ingatkan besok hari Minggu dan berarti dia harus ke gereja (alim kan saya), barulah dia angkat pantat, pulang dan tidur sambil senyum-senyum bahagia.

Moral dari cerita ini adalah: Legalkan perjudian (lho, salah ya?). Maaf, maksud saya, selalu ada peluang yang kita tak pernah ketahui untuk, menyitir Anwar, "berjaga terus di garis batas pernyataan dan impian”.

Hidup adalah satu pernyataan eksistensi teramat sangat monumental. Manusia lahir dengan melewati peluang matematis amat tipis untuk tetap bertahan hidup hingga detik ini: Debu kosmik yang dibangkitkan jadi senyawa protein hayati; seekor ikan kecil beruntung dan berenang paling cepat dari ribuan di sperma, karena itu ia layak dijaga. Impian ialah harapan itu sendiri, tak lain. Harapan adalah satu-satunya ciri yang membedakan kita dari anggota kerajaan animalia lainnya.

Bermain-main dalam batas antara keduanya, "berjaga", sepertinya sangat menyenangkan. Satu seni berkelas tingkat tinggi. Hanya seniman bermartabat yang bisa. Semoga itu Anda.

.

***

Memang selalu ada kebesaran dalam tindak bunuh diri. Saya mengakui hak tiap orang untuk jadi martir demi suatu tujuan besar, atau bahkan tidak untuk apa-apa sekalipun. Orang bebas menentukan harga-harga untuk dirinya sendiri. Bebas memilih makna-makna yang dijadikannya sumber acuan dan tujuan. Bebas pilih hidup atau mati. Dan memang bunuh diri itu penuh keindahan. Saya takjub dan angkat topi. Tapi barangkali seni hidup hanya sesederhana memilih antara nilai goceng atau tak terhingga. Kalau cuma goceng, ya sudah…matilah saja. Kalau memang soal asmara, rasa malu atas kegagalan, kesumpekan perjuangan (ini khusus buat ente-ente teman ane yang pegawai NGO romantik), yang remeh-temeh menurut saya, maaf, begitu dihargainya sampai dijadikan alasan putus asa sampai mati, padahal sebetulnya cuma senilai goceng, well, Anda mungkin keliru memilih berhala. Jika saja Anda tak gampang mundur, siapa tahu Anda bisa pulang bawa 4 juta.

Begitupun seterusnya untuk soal tak terhingga seperti ketuhanan dan kemanusiaan. Kalau Anda rela mati bagi keduanya, bahkan mati sambil mengajak orang lain yang tak tahu apa-apa, jangan-jangan Anda sudah mempertautkan ego picisan Anda dengan kebenaran, yang Anda klaim sendiri. Ealah, memang Anda ini siapa, kok lancang amat mengangkat diri ke tingkat seolah mau jadi pengacara Tuhan dan kemanusiaan? Semua orang rendah hati akan berpikir Anda manipulasi ceban, alias goceng kali dua.

***

Dulu itu, sejujur-jujurnya, saya batal bunuh diri karena takut. Bukan takut neraka karena waktu itu saya tak percaya konsep neraka. Saya hanya ngeri membayangkan kekecewaan luar biasa yang bisa terjadi di diri para anggota keluarga. Lagipula tempat tinggal saya dulu dekat rumah sakit dan kuburan, jadi saya pikir enggak seru amat mayat saya nanti enggak bisa banyak jalan-jalan. Sekarang saya tak punya pikiran untuk bunuh diri lagi. Mungkin karena saya kebetulan suka menuntut diri, mencari-cari dalih kenapa berharap itu mungkin. Semacam mendisiplinkan harapan, begitulah, dalam bahasa prokemnya. Awalnya susah. Tapi lama-kelamaan semua jadi biasa. Asal masih bisa makan nasi dan tempe saja, saya yakin kebutuhan otak akan nutrisi buat berharap sudah tercukupi.

Saya pernah punya dua kawan masa kecil yang bunuh diri, RP dan SK. Yang pertama berhasil, satunya tidak. Yang sukses mati membuat saya merasa tragis dalam waktu cukup lama. Semacam perasaan bersalah besar sebagai kawan, yang jadi hantu paling mengerikan bagi kesadaran saya, dibarengi rasa sedih tiap melihat dampak psikis di tengah keluarganya. Yang gagal mati bikin cemas; bikin berjaga-jaga jangan sampai dia jatuh ke lubang yang sama.

Saya harap Anda yang kini mau buruan mati berpikir ulang berkali-kali. Bikin "legal opinion" dulu sebelum bunuh diri, yang tahan kritik, terutama kritik dari pikiran Anda sendiri. Saya tentu saja tak berwenang melimpahi ayat-ayat suci ke dalam proses itu. Anda sendiri yang tanggung jawab. Paling saya cuma bisa bilang klise ala dai poligami: Carilah mati yang bermartabat, hidup yang juga bermartabat. Betul, tidak? Betul, tidak?

Martabat itu konon sederhana saja. Sekadar punya satu dalih, satu saja, untuk menemukan dan melanjutkan harapan baru. Hingga satu saat kalau Anda siap menarik picu dengan jempol, pucuk pistol di pangkal lidah, Anda bisa bilang kepada Malaikat Maut yang nongkrong siap mencoret nama Anda dari notesnya sambil pilin-pilin janggut di sebelah Anda, “Oom, Oom Malaikat, lain kali saja datang lagi, ya. Maaf, saya sudah bertemu alasan.”

Saya yakin beliau spontan undur diri keki, tapi diam-diam bangga, walau dibarengi ngomel-ngomel juga. Excuses are like assholes, fool. Everybody's got one!

*Ya, semoga saja.

*

*

*

Timoho, Anno Domini MMVI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun