Saya pernah punya dua kawan masa kecil yang bunuh diri, RP dan SK. Yang pertama berhasil, satunya tidak. Yang sukses mati membuat saya merasa tragis dalam waktu cukup lama. Semacam perasaan bersalah besar sebagai kawan, yang jadi hantu paling mengerikan bagi kesadaran saya, dibarengi rasa sedih tiap melihat dampak psikis di tengah keluarganya. Yang gagal mati bikin cemas; bikin berjaga-jaga jangan sampai dia jatuh ke lubang yang sama.
Saya harap Anda yang kini mau buruan mati berpikir ulang berkali-kali. Bikin "legal opinion" dulu sebelum bunuh diri, yang tahan kritik, terutama kritik dari pikiran Anda sendiri. Saya tentu saja tak berwenang melimpahi ayat-ayat suci ke dalam proses itu. Anda sendiri yang tanggung jawab. Paling saya cuma bisa bilang klise ala dai poligami: Carilah mati yang bermartabat, hidup yang juga bermartabat. Betul, tidak? Betul, tidak?
Martabat itu konon sederhana saja. Sekadar punya satu dalih, satu saja, untuk menemukan dan melanjutkan harapan baru. Hingga satu saat kalau Anda siap menarik picu dengan jempol, pucuk pistol di pangkal lidah, Anda bisa bilang kepada Malaikat Maut yang nongkrong siap mencoret nama Anda dari notesnya sambil pilin-pilin janggut di sebelah Anda, “Oom, Oom Malaikat, lain kali saja datang lagi, ya. Maaf, saya sudah bertemu alasan.”
Saya yakin beliau spontan undur diri keki, tapi diam-diam bangga, walau dibarengi ngomel-ngomel juga. Excuses are like assholes, fool. Everybody's got one!
*Ya, semoga saja.
*
*
*
Timoho, Anno Domini MMVI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H