Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dosa Sosial

4 Oktober 2010   14:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:43 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-sadness is an overpriced gift you bought your mother

from a supermarket named world

which also sells the sins of your father-

*

Andai saja apa yang disebut dosa sosial itu memang ada, barangkali orang akan berpikir dua kali sebelum menampilkan kesalihan. Konon setan mengukur efektivitas kerjanya dengan grafik rasa bersalah sosial di dada orang. Sang setan akan merasa jumawa jika dihasilkannya manusia-manusia tanpa perasaan dosa atas perilakunya yang keliru, maupun yang punya ketakacuhan atas kekeliruan cara kerja dunia. Insan berkarasteristik demikian selalu diidamkan setan. Apalagi jika ditambahi dengan hobi menghakimi dan/atau mengkritisi orang lain lewat ceramah penuh diksi-diksi relijius tanpa sedikit pun merasa berdosa, agama apa pun itu, maka lengkaplah sudah potret ironi yang bikin setan bahagia. Kalau saya ketua badan standardisasi jagad setan, niscaya saya anugerahkan industri-jasa umat saya yang mampu menelurkan insan tipikal demikian dengan ISO 666.

*

Dunia telah susut menjadi kampung kecil di mana satu hal sepele yang kita lakukan selalu punya konsekuensi global. Perbuatan-perbuatan kecil yang dilakukan banyak orang dengan berkesinambungan akan mengakibatkan perubahan besar-besaran bagi warga kampung lainnya sejak saat ini sampai masa depan. Sementara, rasa bersalah adalah bakat alamiah. Ia semacam piranti bawaan nurani yang akan berfungsi sebagai alarm jika orang melakukan tindakan yang mengancam bangunan nilai kemanusiaannya. Bakat ini terus berkembang lewat interaksi orang dengan dunia sehari-hari. Bakat ini, di tengah hiruk-pikuknya dunia, hanya punya dua hasil akhir: Tetap hidup, atau mati.

*

Orang yang berziarah ke bait-bait suci mancanegara sampai 7 kali mungkin abai bahwa ia membuang devisa enam kali. Ketulusan beribadah telah menyucikannya dari prasangka buruk, termasuk dari rasa berdosa sentimentil: Uang sebanyak itu seyogyanya cukup untuk membangun dua ruangan sekolah atau membiayai dua belas siswa miskin bertalenta sampai rampung kuliah. Namun tentu saja prioritas itu berbeda bagi masing-masing kepala. Beberapa orang menempatkan ritus privat keagamaan tujuh derajat lebih penting ketimbang kesantunan sosial (yang juga sangat dijunjung semua mazhab keagamaan). Ikhlaskan anak-anak putus sekolah itu tercebur ke jalanan dan neraka dunia selamanya supaya kita punya kesempatan mengkhotbahi mereka tentang jalan menuju neraka alam baka.

*

Entah disadari atau tidak, kita semua sedang menyembah skala. Segala kualitas harus diawali ter-. Tersering, terbanyak, terbesar. Kita mengejar ilusi megaloman dalam semua bidang. Ingin penghasilan terbesar agar dapat mengonsumsi lebih banyak dan lebih kerap, tanpa merasa berdosa kepada Ibu Bumi yang memang didesain bukan untuk melayani keserakahan.

*

Kita makhluk konyol yang membeli alat pengatur suhu di rumah untuk menghindari dampak pemanasan global seraya melipatgandakan konsumsi energi listrik yang celakanya masih dibangkitkan dengan bahan bakar fosil penyumbang emisi karbon terbesar, tanpa punya rasa berdosa walau tindakan itu artinya menjerumuskan anak-cucu kelak ke dunia lebih panas yang membiakkan badai-topan mematikan. Kita meramaikan mal-mal yang memakan sejuta kwh. Merayakan benda-benda impor, menghasuti diri sendiri untuk yakin bahwa hidup yang singkat ini musti dijalani dengan kepasrahan total kepada lifestyle yang dipaksakan jejaring korporasi.

*

Mungkin kita membeli cincin berlian sebagai hadiah bagi yang terkasih. Pada saat bersamaan, seorang bocah di Afrika mati tertembak akibat permusuhan klan-klan yang mengingini dominasi tambang karena diketahuinya sindikat pengepul berlian mentah yang bermarkas di Eropa selalu setia membayar uang darah bagi sebutir batu bodoh yang kini mampir ke jari manis sang kekasih. Emas penyangga batu itu didatangkan oleh korporasi pintar yang sanggup mengakali satu pemerintahan berdaulat selama empat dasawarsa lewat memo penambangan tembaga. Emas dihitung sampah, dikapalkan ke Utara lewat pintu belakang dan ditebar ke semua penjuru dunia untuk dibeli orang dengan nilai tambah sangat mahal dan logam bodoh itu sekarang juga melingkar di jari manis sang kekasih, tepat ketika manusia-manusia malang begelimpangan mati kelaparan karena mutu tanah mereka terdegradasi, hanya sekian jengkal dari tambang emas sang kumpeni.

*

Kita bepergian dengan kendaraan pribadi yang kentutnya perlahan-lahan melubangi langit. Bensin, Saudara-saudariku, adalah komoditas yang membunuh jutaan manusia lewat perang perebutan konsesi dalam dekade terakhir. Sebuah perang yang coba disamarkan dengan spanduk terorisme namun kita tahu apa ujungnya. Satu tindakan sekecil apa pun yang memakai bensin, dengan logika sama dalam hal listrik, akan menyumbang porsi bagi besarnya tingkat permintaan. Akhirnya permintaan dalam tingkat tertentu akan menjaga harga tetap tinggi. Harga yang tinggi langsung menurunkan standar hidup di mana-mana. Dan dengan dirawat oleh punggawa-punggawa neoliberalistis, dunia ini didikte agar selalu menganut perekonomian global yang berbasis pada minyak dan...utang. Kepada Exxon kami menyembah. Kepada IMF kami mohon pertolongan. Meski kita sudah berhenti berlangganan kredit dari IMF, tak ada yang bisa menyangsikan kedahsyatan dampak rezim minyak-utang atas perikehidupan warga Indonesia. Kelahiran produk perundang-undangan yang menganakemaskan penggenggam modal, penghancuran lingkungan hidup akibat keterdesakan ekonomi, harga bahan pokok melambung tinggi, peralihan lembaga pendidikan menjadi BHMN, kriminalitas, urbanisasi eksesif, eksodus tenaga kerja ke luar negeri adalah seluruh situasi ikutan dari rezim tersebut.

*

Kadang terbersit pemikiran miris yang merumus jadi tesis konyol: Hidup di jaman ini hanya punya dua pilihan yakni mati tersingkir atau hidup dengan membunuh orang lain. Bagi korporasi asing raksasa, agen pemasaran tesis tersebut, konsep efisiensi, produktivitas dan keuntungan digunakan dalam pengertian sedemikian sempit hingga pengertian itu menjadi amat arbitrer. Efisien buat produsen belum tentu kesejahteraan bagi pekerja. Produktivitas dilandaskan pada filosofi pertumbuhan tanpa batas, dan yang dimaksud keuntungan adalah pengurasan modal hidup yang seharusnya menjadi warisan generasi berikut. Dalam sebuah Tata Dunia Baru dengan pemagaran nilai macam itu, kita tak punya kedaulatan untuk sekadar bilang tidak. Kita selalu membeli. Padahal pada kasus tertentu yang dimaksud dengan tindakan membeli adalah bilang ya pada pencemaran yang dipapar sebuah produk, pada ketimpangan neraca pembayaran yang ditimbulkannya, dan pada keberlangsungan pemiskinan umat manusia di seluruh kolong langit.

*

Maka nikmati saja hidup ini sebagai konsumen yang taat. Jangan pernah merasa bersalah saat berbelanja ke mal, dan anggaplah diri ini cuma sedang tamasya di tengah deretan gerai pasar bebas yang menekan upah buruh, dengan beban kerja yang memaksa SPG berdiri selama 8 jam. Tak usah pedulikan suara nyinyir yang membandingkan devisa terbuang lewat pembelian sebatang Blackberry itu lebih besar dari yang diperoleh seorang TKI menderita yang dihancurkan jiwa-raganya oleh tuan-tuan petrodollar penuh hipokrisi pendukung mutlak militerisme, judi dan prostitusi selain di tanahnya sendiri. Pergunakan BBM dan listrik sebanyak mungkin karena dengan begitu kita akan melanggengkan status koloni tanah air sendiri di hadapan keadikuasaan modal.

*

Ada suatu kurun dalam sejarah ketika rasa bersalah sudah berhenti memberikan inspirasi. Tadinya rasa itu mampu memperbaiki tepa selira terhadap pihak yang terpinggirkan, atau mampu melecut diri agar lebih banyak lagi memberi kebaikan tanpa-syarat sambil menahan birahi kebendaan. Dulunya rasa itu secara komikal bahkan pernah mengobarkan revolusi dan menggulingkan tirani. Namun jaman sudah lain, barangkali. Pada suatu tahap, hari ini kita bisa benar-benar bebas dari rasa dosa sosial dan terus hidup dengan pola konsumsi sama entah sampai kapan. Bila orang-orang miskin baku bunuh di jalanan saban hari demi sekeping koin, itu bukan salah kita. Anggota dewan korupsi gila-gilaan demi gengsi remeh dan status kemakmuran materialistis, juga bukan salah kita. Dalam hati kita melaknat, namun sekaligus bersetuju pada cita-cita konsumeristis mereka. Caranya salah, tapi niatnya sih mulia, kata batin kita. Pada tahap nirdosa tersebut, sepertinya agak lucu dan kurang pantas kalau kita memanggil diri ini masih manusia.

*

*

signed,

-Pendosa-

*

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun