Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dosa Sosial

4 Oktober 2010   14:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:43 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Kita makhluk konyol yang membeli alat pengatur suhu di rumah untuk menghindari dampak pemanasan global seraya melipatgandakan konsumsi energi listrik yang celakanya masih dibangkitkan dengan bahan bakar fosil penyumbang emisi karbon terbesar, tanpa punya rasa berdosa walau tindakan itu artinya menjerumuskan anak-cucu kelak ke dunia lebih panas yang membiakkan badai-topan mematikan. Kita meramaikan mal-mal yang memakan sejuta kwh. Merayakan benda-benda impor, menghasuti diri sendiri untuk yakin bahwa hidup yang singkat ini musti dijalani dengan kepasrahan total kepada lifestyle yang dipaksakan jejaring korporasi.

*

Mungkin kita membeli cincin berlian sebagai hadiah bagi yang terkasih. Pada saat bersamaan, seorang bocah di Afrika mati tertembak akibat permusuhan klan-klan yang mengingini dominasi tambang karena diketahuinya sindikat pengepul berlian mentah yang bermarkas di Eropa selalu setia membayar uang darah bagi sebutir batu bodoh yang kini mampir ke jari manis sang kekasih. Emas penyangga batu itu didatangkan oleh korporasi pintar yang sanggup mengakali satu pemerintahan berdaulat selama empat dasawarsa lewat memo penambangan tembaga. Emas dihitung sampah, dikapalkan ke Utara lewat pintu belakang dan ditebar ke semua penjuru dunia untuk dibeli orang dengan nilai tambah sangat mahal dan logam bodoh itu sekarang juga melingkar di jari manis sang kekasih, tepat ketika manusia-manusia malang begelimpangan mati kelaparan karena mutu tanah mereka terdegradasi, hanya sekian jengkal dari tambang emas sang kumpeni.

*

Kita bepergian dengan kendaraan pribadi yang kentutnya perlahan-lahan melubangi langit. Bensin, Saudara-saudariku, adalah komoditas yang membunuh jutaan manusia lewat perang perebutan konsesi dalam dekade terakhir. Sebuah perang yang coba disamarkan dengan spanduk terorisme namun kita tahu apa ujungnya. Satu tindakan sekecil apa pun yang memakai bensin, dengan logika sama dalam hal listrik, akan menyumbang porsi bagi besarnya tingkat permintaan. Akhirnya permintaan dalam tingkat tertentu akan menjaga harga tetap tinggi. Harga yang tinggi langsung menurunkan standar hidup di mana-mana. Dan dengan dirawat oleh punggawa-punggawa neoliberalistis, dunia ini didikte agar selalu menganut perekonomian global yang berbasis pada minyak dan...utang. Kepada Exxon kami menyembah. Kepada IMF kami mohon pertolongan. Meski kita sudah berhenti berlangganan kredit dari IMF, tak ada yang bisa menyangsikan kedahsyatan dampak rezim minyak-utang atas perikehidupan warga Indonesia. Kelahiran produk perundang-undangan yang menganakemaskan penggenggam modal, penghancuran lingkungan hidup akibat keterdesakan ekonomi, harga bahan pokok melambung tinggi, peralihan lembaga pendidikan menjadi BHMN, kriminalitas, urbanisasi eksesif, eksodus tenaga kerja ke luar negeri adalah seluruh situasi ikutan dari rezim tersebut.

*

Kadang terbersit pemikiran miris yang merumus jadi tesis konyol: Hidup di jaman ini hanya punya dua pilihan yakni mati tersingkir atau hidup dengan membunuh orang lain. Bagi korporasi asing raksasa, agen pemasaran tesis tersebut, konsep efisiensi, produktivitas dan keuntungan digunakan dalam pengertian sedemikian sempit hingga pengertian itu menjadi amat arbitrer. Efisien buat produsen belum tentu kesejahteraan bagi pekerja. Produktivitas dilandaskan pada filosofi pertumbuhan tanpa batas, dan yang dimaksud keuntungan adalah pengurasan modal hidup yang seharusnya menjadi warisan generasi berikut. Dalam sebuah Tata Dunia Baru dengan pemagaran nilai macam itu, kita tak punya kedaulatan untuk sekadar bilang tidak. Kita selalu membeli. Padahal pada kasus tertentu yang dimaksud dengan tindakan membeli adalah bilang ya pada pencemaran yang dipapar sebuah produk, pada ketimpangan neraca pembayaran yang ditimbulkannya, dan pada keberlangsungan pemiskinan umat manusia di seluruh kolong langit.

*

Maka nikmati saja hidup ini sebagai konsumen yang taat. Jangan pernah merasa bersalah saat berbelanja ke mal, dan anggaplah diri ini cuma sedang tamasya di tengah deretan gerai pasar bebas yang menekan upah buruh, dengan beban kerja yang memaksa SPG berdiri selama 8 jam. Tak usah pedulikan suara nyinyir yang membandingkan devisa terbuang lewat pembelian sebatang Blackberry itu lebih besar dari yang diperoleh seorang TKI menderita yang dihancurkan jiwa-raganya oleh tuan-tuan petrodollar penuh hipokrisi pendukung mutlak militerisme, judi dan prostitusi selain di tanahnya sendiri. Pergunakan BBM dan listrik sebanyak mungkin karena dengan begitu kita akan melanggengkan status koloni tanah air sendiri di hadapan keadikuasaan modal.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun