Mohon tunggu...
Septri Lediana Lanis
Septri Lediana Lanis Mohon Tunggu... writer and journalist -

Dikenal juga dengan nama Ledian Lanis www.lediana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemerdekaan Kita

18 Agustus 2015   10:35 Diperbarui: 18 Agustus 2015   10:35 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah buku diterbitkan Harian Merdeka pada 17 Februari 1946, yang sengaja dibuat untuk peringatan enam bulan kemerdekaan. Dalam buku itu, Soekarno, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir menyumbangkan tulisan.

Inti pesannya sama : mendoakan Indonesia lebih baik di masa-masa yang akan datang. Dengan sumbangan tulisan itu, mereka seolah setuju bahwa terlalu lama menunggu satu tahun untuk peringatan kemerdekaan.

Selama tujuh puluh tahun, kita juga memperingati hari kemerdekaan bangsa ini. Rutin setiap tahun. Dengan kue ulangtahun berwujud pesta rakyat, upacara, pidato, gerak jalan dan puisi. Pun juga dengan perenungan, evaluasi diri, kritik berwujud demo, laporan di surat kabar dan televisi. Juga dengan diskusi di kedai kopi sekalipun. Kita sadar momen sepenting ini tak boleh dilewatkan tanpa ada apa-apa.

Namun, apakah begitu pentingnya sebuah peringatan? Filsuf besar, Sockrates mengatakan : “Suatu kehidupan yang tidak diteliti bukanlah kehidupan yang patut dijalani bagi seorang manusia”. Maka kita sepakati saja peringatan adalah masa untuk kita meneliti kembali. Bukan untuk menghujat atau mengatakan kita belum merdeka. Bukan untuk mencari siapa salah. Bukan pula sebagai euforia atas apa yang sudah dimiliki atau mengeluhkan apa yang belum dimiliki. Tapi seperti kata Soekarno, Hatta dan Sjahrir : Adalah untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik di masa-masa yang akan datang.

Lalu apa yang harus kita teliti kembali? Jika terlalu banyak rasanya, kita kembali saja pada buku yang diterbitkan 70 tahun lalu itu. Di sana Soekarno menuliskan : “Enam bulan kita telah merdeka, sesudah enam abad, masih merdeka! Sekali merdeka, tetap merdeka!”.

Ingatan kita lalu melayang pada anak-anak jalanan dan pengemis di hampir semua persimpangan jalan. Pada orang-orang di pedalaman yang harus berjauh-jauh untuk berobat ke pusat pelayanan kesehatan. Pada Anak mereka yang bersekolah dengan perahu bambu atau berjalan kaki berkilometer jauhnya.

Dengan keadaan seperti yang mereka alami, kita bertanya apakah sudah mereka rasakan kemerdekaan? Sementara kita sudah merasa kecukupan diri. Padahal kita dan mereka sebangsa, senegara, sama.

Soekarno menulis lagi: “Sekali merdeka, tetap merdeka adalah semboyan seluruh rakyat Indonesia yang tak mau dijajah”.

Kita pun kembali bertanya, adakah kita benar-benar tak lagi dijajah? Sementara kita merasakan ketergantungan dan ketaklukan pada negara asing sebagai jenis penjajahan baru. Penjajahan yang terlihat dari kekalutan dan kesulitan kala mata uang asing menguat. Saat kita belum mampu untuk lepas dari hutang piutang. Saat kita masih bergantung pada produk-produk mereka. Saat kita belum mampu membela dan melindungi sanak kerabat yang dianiaya dan dibunuh di negeri asing. Apakah kita benar-benar merdeka dan lepas dari penjajahan?

Apalagi yang ingin kita teliti? Untuk negara dengan berbagai sektor tentu sederet panjangnya. Cukup. Cukup pada dua kalimat Soekarno itu saja kita memulai awal penelitian kita. Sebuah penelitian yang panjang tanpa perenungan, evaluasi, aksi dan konsistensi memperbaiki, hanya akan menghabiskan energi. Sementara belum tentu meninggalkan manfaat berarti. Ibarat membakar mercon kala 17 Agustusan, yang pekak nyaring terdengar lalu terlupa detik selanjutnya. Ataukah selama ini kita meneliti seperti pohon panjat pinang 17 Agustusan, yang digandrungi sehari dua hari lalu terlupa 300 hari sesudahnya?

Beginilah kita meneliti. Memang bukan hal baru. Bukan pula hal yang tersembunyi. Namun hal lama yang tetap ada sebagai tanda banyak yang belum terselesaikan, belum terperbaiki. Tapi apakah hal lama tak layak dinilai sebagai masalah yang harus segera diatasi? Seperti lobang pada jalanan, tak akan mulus ia jika tak diperbaiki. Bahkan akan semakin meluas sepanjang badan.

Pada hari peringatan, sebagai waktu untuk meneliti kembali, kita inginkan juga meneliti diri sendiri. Sebagai bagian dari bangsa adakah selama ini kita cukup berbuat untuk sesama, untuk daerah yang kita diami semampu kita?

Mungkin peringatan ini bukanlah tentang kemerdekaan Indonesia. Tapi tentang kemerdekaan tiap diri kita. Tentang kita sebagai bangsa yang hidup pada sebuah Negara. Jika memang kita masih setuju pada filsuf Plato bahwa negara adalah tempat tinggal bersama. Seperti rumah.

Sebagai rumah, yang akan ditinggali pula oleh anak cucu dan keturunan turun temurun, kita akan peduli untuk menjadikannya terbaik. Bukan acuh tak acuh dan menjadikan rumah seperti hotel yang dikunjungi sesaat saat liburan. Bukan dengan hanya menyerahkan tanggung jawab seutuhnya pada pelayan yang kita sebut pemerintah. Kemudian sekedar menghujat, menyalahkan tanpa ikut berperan.

Lalu, dalam buku peringatan enam bulan kemerdekaan itu pula, Hatta menulis: “Enam bulan belum berarti apa-apa dalam sejarah suatu bangsa, yang biasanya dibilang dengan puluhan tahun”.

Membaca itu kita pun berpikir, 70 tahun sudah lamanya, apakah sejarah bangsa ini sudah patut kita banggakan? Apakah sudah cukup aman untuk kita wariskan pada anak cucu kita? Lagi-lagi ini mungkin bukan tentang umur. Tapi tentang kita yang terus berupaya untuk selalu memperingati diri dan terus meneliti. Tentang kita yang terus berupaya untuk selalu merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun